Liputan6.com, Jakarta Mimpi besar agar perfilman Indonesia dapat menjadi tuan rumah di negaranya sendiri mendapat sedikit tantangan. Beberapa tahun belakangan, film Indonesia ternyata kurang bertenaga dalam menarik penonton untuk masuk ke bioskop. Hal ini, bisa dilihat dari data yang ditampilkan oleh jaringan bioskop terbesar di Indonesia, Cinema 21.
Catherine Keng, Corporate Secretary Cinema 21, memaparkan bahwa dari tahun ke tahun, semakin sedikit film domestik yang mampu meraih angka 300 ribu penonton. Hal ini, terutama bila dibandingkan dengan data di tahun 2008.
Baca Juga
Advertisement
"Di tahun 2015, ada 116 film yang tayang di bioskop, namun hanya sepuluh yang meraih di atas 300 ribu penonton. Sementara tahun 2008 ada 81 film yang ditayangkan, dan 36 film di antaranya meraih lebih dari 300 ribu penonton," ujarnya ketika bertandang ke kantor Liputan6.com, Selasa (23/2/2016).
Baca Juga
Yang lebih membuat miris, jumlah film dengan penonton kurang dari 100 ribu pun terus merangkak naik. Pada 2008, hanya 23 judul film yang mengalami hal ini. Namun jumlahnya terus bertambah, hingga pada 2015 telah mencapai 81 judul film.
"Bahkan di tahun 2015 ada 18 film di bawah 10 ribu penonton," ujarnya.
Angka ini, secara langsung memengaruhi market share film nasional. "Pada 2008 market share film nasional mencapai 56 persen, namun sekarang hanya sampai 20 persen," katanya. Artinya, pasar film impor di Indonesia saat ini begitu menggurita, mencapai 80 persen.
TR Anitio, Direktur Cinema 21, membantah anggapan bahwa hal ini disebabkan pihaknya yang menganakemaskan film impor. Anitio menyebutkan bahwa ia selalu memberi ruang bagi para sineas untuk menayangkan filmnya di bioskop jaringan Cinema 21. "Buktinya masih ada film Indonesia yang menyentuh angka 1 juta penonton," katanya.
Catherine memperkirakan bahwa salah satu penyebab lesunya jumlah penonton ini adalah kualitas perfilman Indonesia. "Ada banyak PH yang membuat film dengan asal-asalan," katanya.
Ada film yang biaya produksinya sengaja ditekan sangat minim, hanya untuk balik modal dengan jumlah penonton tak seberapa. Hal ini kian menggejala, dengan semakin murahnya biaya produksi film. "Dengan uang 500 juta, siapa pun sekarang sudah bisa mengaku sebagai produser dan bikin film," kata Anitio.
Catherine menyebutkan, Indonesia sebenarnya juga memiliki sineas yang menghasilkan karya-karya berkualitas tinggi. "Sayangnya, banyak di antara mereka yang inginnya membuat film sesuai keinginan mereka saja, tak mempedulikan keinginan pasar," katanya. (Rtn)