Liputan6.com, Jakarta Nahas betul nasib Persephone (Hannah). Usai menyaksikan ibunya tewas terbakar di peternakan, ia dituding ayahnya sendiri sebagai perempuan pembawa sial. Persephone diusir dari rumah dan ditolak warga kampung. Sejak itu perilakunya menjadi aneh. Warga menyebutnya sebagai tukang sihir. Tuduhan ini menjurus pada persekusi yang membuat Persephone diseret ke meja hijau. Saat Hakim (Michael) hendak menjatuhkan vonis, seorang Suster Kepala (Clare) hadir membela Persephone.
Sang Suster meyakinkan hakim bahwa Persephone berhak mendapat kesempatan kedua untuk bertobat. Persephone kemudian menjadi pelayan Tuhan dan tinggal di biara. Beberapa hari tinggal di sana, Persephone merasakan banyak kejanggalan. Beberapa biarawati demam lalu meninggal. Puncaknya, saat Suster Bernadine (Bethan) yang sedang membaca firman tiba-tiba mencungkil matanya sendiri lalu tewas. Persephone berupaya mengajak biarawati lain kabur dari tempat itu.
Itulah sepenggal kisah film Heretiks yang tayang di bioskop mulai Rabu (8/5/2019). Memiliki judul asli The Convent, naskah buatan Paul Hyett dan Cobal Palmer dituturkan dengan intens di sini. Sayangnya, naskah ini memiliki banyak lubang. Pertama, latar belakang karakter utama diterangkan sekelebat. Transformasinya dari gadis bahagia menjadi anak pembawa sial, lalu dijuluki tukang sihir terasa instan. Paul yang juga bertindak sebagai sutradara tampak terlalu antusias dan menitikberatkan pada adegan di biara dan kapel.
Advertisement
Kedua, karakter utama dibiarkan berjuang sendiri nyaris di sepanjang film. Satu-satunya karakter cowok penting di film ini malah dibuat tak berdaya. Para tokoh tampaknya dibangun berdasarkan usia atau generasi. Raut wajah para suster senior termasuk Suster Kepala relatif sama: judes, kaku, sedikit-sedikit memberi hukuman, bahkan, cara berbicaranya pun mirip. Sementara para suster muda benar-benar ditempatkan sebagai korban. Mereka tampak lebih berwarna karena terpecah menjadi dua kubu, yakni geng patuh dan geng pemberontak.
Baca Juga
Dipertahankan
Kondisi ini dipertahankan Paul hingga menit-menit akhir. Saat satu dua karakter menyadari kejanggalan dan semua sudah terlambat, penonton dengan mudah menebak bagaimana Heretiks akan berakhir. Bagi Anda yang gemar menonton film horor atau thriller, tentu paham Heretiks hanyalah genre memedi kelas B. Apalagi jika Anda pernah menonton Scream 4 (Wes Craven, 2011). Di akhir cerita, Scream 4 membahas salah satu pakem film horor, bahwa penonton biasanya menyukai satu pahlawan saja yang tersisa.
Dari aspek sinematografi, pencahayaan, dan musik, Heretiks tidak istimewa. Banyak adegan dieksekusi dalam kondisi remang-remang. Walhasil, gambar-gambar yang tersaji mengingatkan kita pada film-film horor buatan Nayato Fio Nuala. Yang berkesan dari film ini bisa jadi hanya akting aktris senior Clare Higgins yang konsisten dan memancarkan karisma.
Heretiks pada akhirnya tidak akan menjadi pilihan pertama penonton. Jika sudah menonton Avangers: Endgame dan Pokemon Detective Pikachu, barulah film produksi tahun lalu ini dilirik penonton.
Pemain: Hannah Arterton, Clare Higgins, Bethan Walker, Michael Ironside
Produser: Marcia Do Vales, Michael Riley
Sutradara: Paul Hyett
Penulis: Conal Palmer, Paul Hyett
Produksi: Red Rock Entertainment
Durasi: 81 menit
(Wayan Diananto)
Advertisement