Liputan6.com, Jakarta Film Lampor Keranda Terbang terasa beda dari horor lain karena dilatari beberapa faktor. Pertama, ceritanya berbasis keluarga dan berkutat pada hubungan tiga generasi yakni kakek, anak, dan cucu.
Kedua, Lampor Keranda Terbang mengajak kita ke Temanggung, Kendal, dan beberapa titik di dekat Banyumas, Jawa Tengah. Jarang kita diajak ke sana oleh film Indonesia. Atmosfer horor dibangun dari suasana alam, karakter masyarakat, dan kultur yang kental. Ketiga, sumber masalah Lampor Keranda Terbang.
Hantu di Lampor Keranda Terbang tak digambarkan sebagai arwah penasaran atau korban kejahatan yang menuntut balas. Lampor Keranda Terbang, legenda masyarakat dalam kemasan percaya enggak percaya.
Advertisement
Anda boleh percaya Lampor Keranda Terbang mengingat ada sejumlah korban yang bersaksi pernah dibawa lalu berhasil menyelamatkan diri. Meski setelah selamat, hidupnya tak sama lagi. Ada pula saksi yang kehilangan anggota keluarga lantaran dibawa Lampor Keranda Terbang dan tak pernah kembali hingga kini.
Baca Juga
Lampor Keranda Terbang punya materi kuat, dekat dengan masyarakat khususnya Jawa Tengah. Dekat dengan mereka yang menghabiskan masa kecil di era 1990-an. Dulu anak kecil di Jawa Tengah yang gemar keluyuran lepas magrib (surup) selalu ditakuti dua hal.
Pertama, dibawa pergi lampor yang suaranya nyaring. Kedua, diculik kuntilanak yang bersemayam atau melayang di antara pohon pisang. Artinya, Lampor Keranda Terbang bisa menjadi mesin kenangan dalam konteks penuh kengerian. Bagaimana dengan filmnya?
Bukan Sekadar Penampakan
Lampor Keranda Terbang mengisahkan Netta (Adinia Wirasti) yang pulang bersama suami, Edwin (Dion Wiyoko) dan kedua anaknya, Adam (Bimasena) dan Sekar (Angelia Livie) ke Temanggung. Sekar ingin menyampaikan pesan almarhumah ibunda, Ratna (Unique Priscilla) kepada ayahnya, Jamal (Mathias Muchus).
Ratna dan Jamal cerai setelah anak kedua mereka tewas dibawa Lampor pada suatu malam. Jamal yang menimba ilmu hitam dari Pak Atmo (Landung Simatupang) dikutuk tak bisa punya anak. Ia menikahi Asti (Nova Eliza). Pasangan ini jadi pengusaha tembakau dan hidup mapan.
Saat Netta pulang, Jamal meninggal. Seluruh penduduk menuding kembalinya Netta adalah sumber teror. Belakangan, Lampor kembali datang dan menggondol sejumlah warga. Orang-orang menilai Netta seharusnya dibawa Lampor, tapi ia berhasil menyelamatkan diri.
Belakangan Netta sadar, keluarga ayahnya tak beres. Ia mencium aroma skandal antara Asti dengan karyawannya, Bima (Dian Sidik). Netta juga waswas karena Sekar mengaku sering bertemu arwah Jamal. Konflik mencapai puncak saat Adam hilang dibawa Lampor.
Alur cerita Lampor Keranda Terbang mengingatkan kita pada Kafir Bersekutu dengan Setan atau Pengabdi Setan. Ketegangan dibangun bukan semata dari penampakan hantu, melainkan atmosfer dan motivasi para tokoh pendukungnya. Motivasi terselubung memicu kecurigaan.
Kecurigaan yang dibiarkan menggenang memantik efek tak tenang dan tak nyaman. Kita dibuat bertanya-tanya apa sebenarnya yang terjadi di keluarga sang tokoh utama. Inilah yang disajikan Lampor selama lebih dari 1,5 jam. Kecurigaan dan rentetan tanda tanya.
Advertisement
Konflik Berlapis
Sosok Lampor sendiri malah tidak mengundang penasaran. Penampakannya di beberapa momen mengerikan. Seiring waktu, penjelasan terkait siapa Lampor dan sejumlah versi tentang bagaimana ia beraksi memupus rasa penasaran. Termasuk, suara “welwa” yang artinya dijawil lan digawa (dicolek lalu dibawa pergi, dan mungkin tak kan kembali).
Bukan berarti Lampor kehilangan pamor di filmnya sendiri. Alim Sudio menjelaskan bahwa Lampor datang dengan sebuah alasan. Ada yang harus dibereskan dari polah para manusia.
Untuk yang satu ini, Lampor perlu diapresiasi. Ia tak sekadar membawa pesan. Lampor datang sebagai “penghukum” yang ditakuti. Di sisi lain, kita melihat drama keluarga yang pelik. Tentang keinginan menjadi yang tertinggi, ketidakpuasan terhadap keadaan dan kehidupan, intrik di belakang, dan masih banyak lagi.
Konflik Lampor berlapis. Lalu diurai satu per satu selubungnya. Ia bukan horor kebanyakan yang bergerak lewat konsep “usil berbuah petaka.” Atau horor yang hantunya muncul tiap lima menit tanpa alasan jelas.
Dalam Lampor Keranda Terbang kita melihat konflik keluarga, ambisi, legenda rakyat, dan yang paling penting mengingatkan kita bahwa keluarga semestinya saling melindungi. Manisnya cinta mengalahkan kejahatan sepahit apa pun. Dengan latar rumah-rumah lawas, tarian, dan bahasa Jawa yang terdengar agak ngapak, Lampor terasa sangat Indonesia. Soal akting, pertalian Dion dan Adinia tak perlu diragukan. Performa Annisa Hertami sebagai Nining juga mencuri perhatian. Adegan Nining menata kasur dan sprei di sebuah kamar sempit sambil menggunjing orang terasa sangat natural.
Ada satu adegan yang membuat kami berpikir keras. Yakni, saat seorang tokoh terluka parah lalu dalam hitungan detik, luka itu pulih. Apakah ini yang disebut ilmu Rawa Rontek? Kami mendengar ilmu kebal ini saat SD dari cerita sandiwara radio dan beberapa pinisepuh (tua-tua) dan sesepuh kampung tempat kami tinggal. Ngeri juga, ya!
Pemain: Dion Wiyoko, Adinia Wirasti, Nova Eliza, Bimasena, Angelia Livie, Landung Simatupang, Mathias Muchus, Unique Priscilla, Dian Sidik
Produser: Chand Parwez Servia, Fiaz Servia
Sutradara: Guntur Soeharjanto
Penulis: Alim Sudio
Produksi: Starvision Plus
Durasi: 1 jam, 35 menit
(Wayan Diananto)