Konser U2: Kala Propaganda, Cinta, dan Uang Menjadi Satu

Menyaksikan langsung U2 manggung dalam sebuah konser serasa pengalaman spiritual buat banyak orang.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Des 2019, 12:00 WIB
Diterbitkan 04 Des 2019, 12:00 WIB
[Bintang] U2
Lebih dari setengah abad lalu, peristiwa menyayat hati terjadi di Alabama. Momen berdarah tersebut dikenal dengan Bloody Sunday. (CHRISTIAN PETERSEN / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / AFP)

Liputan6.com, Singapura - Konser U2, band rock asal Irlandia, akhir pekan lalu di Stadion Nasional, Singapura, Sabtu (30/11/2019) dan Minggu (1/12/2019), bisa jadi adalah pengalaman sekali seumur hidup bagi banyak fans asal Indonesia, baik fans berat dan fanatik, ataupun yang dadakan.

Vokalis U2, Paul David Hewson alias Bono, sudah sejak lama menegaskan bahwa bandnya tidak akan mau tampil dan menggelar konser di negara-negara yang dianggap kurang atau tidak peduli pada masalah kemanusiaan dan lingkungan hidup. Termasuk di dalamnya adalah soal kemiskinan dan pemanasan global. 

Tak heran, dengan alasan tersebut Indonesia tak masuk dalam daftar negara yang disinggahi U2 dalam tur The Joshua Tree 2019. Tur tersebut digelar sejak 8 November di Auckand, Selandia Baru dan akan berakhir 15 Desember di Mumbai, India.

Total, U2 menggelar 15 konser di tujuh negara Asia dan Oseania, yaitu Selandia Baru, Australia, Singapura, Jepang, Korea Selatan, Filipina, dan India.

 

 

 

Tak Dapat Bonus

Konser U2 di Singapura (Erwin Fitriansyah)
Konser U2 di Singapura (Erwin Fitriansyah)

Tur dengan tajuk serupa sudah pernah digelar U2 pada 2017. Kala itu jumlah konser serta negara yang disinggahi jauh lebih banyak. U2 memulai tur pada bulan Mei dan berakhir pada Oktober, menggelar 51 show di 16 negara benua Eropa dan Amerika. 

Beda dengan konser di Selandia Baru dan Australia, penonton di Singapura tak mendapatkan bonus berupa penampilan band pembuka band Noel Gallagher’s High Flying Birds. Puluhan ribu penonton yang sejak sore memadati Stadion Nasional hanya dihibur oleh sejumlah lagu beken dari band lain yang diputar melalui sound system. Sementara di layar LED raksasa yang membentang hampir sepanjang lapangan sepak bola dan tingginya hampir menyentuh atap stadion, ditampilkan bait-bait puisi yang berisi soal kegelisahan.  

Sekitar 30 menit lewat dari jadwal awal konser di jam 20.00 waktu Singapura, penonton seperti tahu U2 akan memulai konser usai lagu "The Whole of the Moon" dari The Waterboys selesai berkumandang.

Segera setelah lampu stadion padam, sosok drummer Larry Mullen Jr. yang berpakaian necis warna hitam dan rambut klimis, muncul dari belakang panggung besar, berjalan menuju drum set di panggung kecil yang terletak menjorok ke tengah penonton. Tak lama kemudian intro lagu "Sunday Bloody Sunday" pun berkumandang bersamaan dengan sosok gitaris The Edge, bassis Adam Clayton, dan Bono yang muncul.

 

 

 

 

 

Sikap Kritis Sejak Awal

Konser U2 di Singapura (Erwin Fitriansyah)
Konser U2 di Singapura (Erwin Fitriansyah)

Sudah sejak awal kemunculan pada 1976, U2 dikenal sebagai band yang punya sikap kritis. Tak heran kalau akhirnya yang dipilih untuk membuka konser adalah lagu "Sunday Bloody Sunday" yang terilhami oleh insiden saat tentara Inggris menembaki demonstran sipil yang tak bersenjata di Derry, Irlandia Utara, pada 1972. 

“U2, khususnya Bono, memang terbukti politis, bahkan sejak dalam pikiran. Album The Joshua Tree adalah puncak agitasi politik U2 yang sangat cerewet pada AS. Bukan kebetulan jika tur The Joshua Tree dimulai sejak 2017 sejak Donald Trump menang,” kata Adrianus Nugroho, penonton yang datang dari Yogyakarta. 

Pada lima lagu awal yang menandai era sebelum album The Joshua Tree, pilihan lagunya juga kental dengan nuansa politis seperti "New Year’s Day" atau "Pride" yang bercerita soal Martin Luther King Jr.

Dua lagu lain yang dipilih sebagai pembuka adalah I Will Follow yang dibuat Bono buat mengenang sang ibu yang meninggal saat Bono masih berumur 14 tahun. Satu lagu lagi adalah Bad, yang bercerita soal ketergantungan pada narkoba yang melanda sebagian penduduk Dublin pada era 1980-an.

 

 

Album The Joshua Tree

Konser U2 di Singapura (Erwin Fitriansyah)
Konser U2 di Singapura (Erwin Fitriansyah)

Saat memulai konser di panggung kecil, terlihat betul Bono dkk. berusaha membangun interaksi yang intim dengan penonton. Jarak panggung yang dekat dengan penonton membuat proses ini terlihat jelas. Panggung kecil menjadi fokus karena layar LED raksasa tak menampilkan gambar apapun. Untung buat penonton di depan, tapi tidak buat penonton yang ada jauh di belakang dan tribun yang pasti kesulitan melihat aksi U2 di panggung kecil. 

Scene era sebelum album The Joshua Tree diakhiri dengan lagu "Pride". Setelah itu Bono, The Edge, Clayton dan Mullen berjalan menuju panggung besar diiringi intro dari lagu "Where The Streets Have No Names" dan lagu pertama di album The Joshua Tree yang dirilis pada 1987 itu berkumandang. Bersamaan dengan lagu megah tersebut, layar LED menyala dan mulai menghibur dengan video serta gambar yang mendukung lagu yang dibawakan.

LED raksasa tersebut mulai terasa mendukung saat lagu "Red Hill Mining Town" mengalun. Layar memutar adegan sejumlah pemain brass section seakan mengiringi U2 dalam membawakan lagu. 

Pemakaian LED jumbo yang mendukung lagu juga terlihat saat lagu "Mothers of the Dissapeared". Sejumlah wanita yang hanya berdiri sambil membawa lilin yang akhirnya padam setelah ditiup satu per satu menjadi pengiring lagu hingga selesai.

 

 

Untuk Perempuan Perubahan

Konser U2 di Singapura (Erwin Fitriansyah)
Konser U2 di Singapura (Erwin Fitriansyah)

Lagu ini tercipta setelah Bono melakukan perjalanan ke sejumlah negara di Amerika Selatan dalam rangka tur yang digagas oleh organisasi Amnesti Internasional. Di sana, Bono sempat bertemu dengan sejumlah ibu yang kehilangan anaknya di tangan pemerintah Argentina dan Chile. 

Sebelum masuk ke lagu "In Gods Country", Bono sempat mengungkap fakta bahwa Clayton sang bassis adalah local boy Singapura. “Saya sempat tinggal di Singapura pada tahun 1964,” kata Clayton. 

Sementara sebelum lagu "One Tree Hill", Bono bercerita bahwa lagu tersebut didedikasikan buat Greg Caroll, kru band U2 yang merupakan orang Maori, suku asli Selandia Baru. Caroll meninggal akibat kecelakaan di Dublin pada 1986. 

Tuturan lewat lagu dan gambar yang terpampang di LED raksasa kembali terlihat di lagu "Ultra Violet (Light My Way)". Lagu tersebut dipersembahkan buat perempuan yang memberikan perubahan dan menjadi inspirasi di dunia. 

Sebanyak 60 perempuan, diantaranya Ellen DeGeneres (aktris, pembawa acara), Keiko Fukuda (atlet judo), Sinead Burke (penulis), Hannah Dagsby (komedian), hingga tim pendaki gunung putri Singapura yang melakukan ekspedisi ke Mount Everest, ditampilkan di layar LED. Pada akhir lagu, Bono sempat memasukkan sepenggal lirik lagu "Its Only Rock and Roll (But I Like It)" dari The Rolling Stones dan "I Love Rock n Roll" milik Joan Jett.

 

 

Pendapatan Wow

Sejumlah lagu bernuansa cinta, meskipun sebetulnya tak melulu bertutur soal cinta seperti "With or Without You" dan "Even Better Than The Real Thing" bisa memberikan warna berbeda dari deretan lagu kritis sarat propaganda dalam konser tersebut. 

Dilihat dari sudut hiburan, konser U2 ini memang memanjakan penonton. Toh, tetap saja tak ada gading yang tak retak. “Konser yang bagus. Tapi sayang nggak ada layar,” kata Rita Djayusman, penonton asal Jakarta. 

Soal kualitas suara, harus diakui, usia yang memasuki 59 tahun mulai menggerus rentang vokal yang dimiliki Bono. Pada lagu "One Tree Hill" atau "Red Hill Mining Town" yang membutuhkan vokal dengan nada tinggi, Bono menyiasatinya dengan mengambil nada rendah. 

Beruntung personil lain tampil prima. The Edge seperti biasa menjadi tandem yang sepadan buat Bono. Di lagu seperti "New Years Day dan Running To Stand Still", The Edge memainkan keyboard dengan manis. Sebuah kejutan juga terjadi ketika lagu "Every Breaking Wave" dimainkan dengan cara yang berbeda, dimana The Edge memainkan keyboard membuat suasana semi akustik menjadi tercipta. 

Konser ini setidaknya membuktikan bahwa U2 sebagai band yang kritis dan banyak mengusung propaganda soal kemanusiaan, hak asasi, pemanasan global, lingkungan sampai cinta berhasil berhasil memadukan dengan unsur showbiz yang ujungnya bermuara pada uang. Menurut laporan Forbes, rangkaian konser pada 2017 mampu mengumpulkan uang hingga senilai Rp1,7 triliun sebelum dipotong pajak. 

Sebelum lagu penutup, "One", dimainkan, Bono untuk kali terakhir berorasi dan memuji masyarakat Singapura yang bisa hidup dalam keberagaman etnis dan pemeluk agama. Dan saat lagu tersebut berkumandang, terselip pemandangan unik karena ada satu bendera Merah Putih yang berkibar di dekat bibir panggung utama. Bono mungkin lupa atau bahkan tidak menyadari, bahwa sebagian besar penonton yang memadati dan memujanya di Stadion Nasional Singapura selama dua hari berturut-turut adalah fans yang berasal dari Indonesia. (Erwin Fitriansyah)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya