Liputan6.com, Jakarta Aku dan Faiz Rifa melaju ke lantai 5. Ia kemudian mengajakku menuju kamar 501 yang terletak paling ujung. Begitu kamar dibuka, pandanganku langsung tertuju pada balkon berlapis pintu kaca berikut lanskap Gunung Merapi dan Merbabu yang elok.
Sebelum dipersilakan masuk, aku langsung mendekat ke balkon. Faiz Rifa hanya menggeleng lalu membanting tubuhnya ke kasur. Sembari mengabadikan panorama Merapi-Merbabu dari balkon, aku melirik Faiz Rifa yang tidur terlentang. Matanya menatap tajam ke langit-langit kamar.
Advertisement
Baca Juga
Usai memotret pemandangan dari balkon, aku masuk ke kamar duduk dan di sofa. Sembari mengecek hasil jepretan, aku memulai pembicaraan. “Ini soal Riga?” tanyaku seraya mengunggah sebuah foto ke akun Instagram. Faiz tak menjawab.
Pertemuan Dengan Yusuf
Ia bangun, beranjak ke balkon, menyaksikan Merapi nan anggun bergaun awan dan kabut. Aku menyusulnya. Suasana terasa janggal. Perlahan Faiz Rifa yang ceria tampak mellow. Matanya berkaca. Nah, aku jadi enggak enak hati melihat teman lama galau seperti ini. Faiz kemudian bercerita pertengahan tahun lalu mengenal Yusuf, lulusan salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung.
Yusuf dari Padang. Perkenalan bermula saat Faiz dan Yusuf menghadiri gala premier film impor di Plaza Indonesia XXI Jakarta. Mereka mengobrol saat berpapasan di lounge dan merasa klik. Yang terjadi selanjutnya, pertukaran nomor ponsel, mengobrol di WhatsApp, dan mereka sering hangout berdua.
Faiz yang sudah lama menjomlo mulai bermain perasaan. Entah dia yang merasa atau memang begitu adanya, Yusuf merespons. Beberapa bulan berkomunikasi intens membuat Faiz dan Yusuf semakin dekat.
Advertisement
Kayak Perawan Jatuh Cinta
“Gue kayak anak perawan yang baru kali pertama jatuh cinta. Ya sudah, kami sering malam mingguan bareng. Puncaknya, merencanakan piknik tahun baru di Bali. Tiket berdua aku pesankan. Dia menjanjikan mau mengurus penginapan bintang lima di Jimbaran dan Uluwatu. Satu tiket PP kelas bisnis atas nama dia aku kirim file-nya via WhatsApp. Yang bikin gue syok, sehari kemudian dia bilang batal ke Bali,” cerita Faiz panjang.
Aku yang hanya mendengar ikut syok. Bukan soal harga tiket kelas bisnisnya, tapi hancurnya perasaan Faiz kala itu. Sampai di sini aku belum bereaksi.
Faiz Rifa mencoba berpikir positif, siapa tahu memang ada acara keluarga dadakan di Padang. Tapi seringkali, berpikir positif hanya berakhir dengan kesia-siaan.
Dion Lagi, Dion Lagi
“Akhirnya gue ke Bali sendiri. Menginap di rumah sahabat gue Cahyo di kawasan Kuta. Go***knya Yusuf, dia mengunggah kegiatan di pantai bareng seseorang. Dan gue tahu persis itu Pantai Nyang Nyang. Bali. Gue sempat meng-capture foto dan video dari Instagram Stories-nya,” Faiz melanjutkan obrolan. Kali ini air matanya berlinang. Aku terdiam.
“Sorry Faiz, gue bingung. Apa hubungannya cerita lo dengan nasihat supaya gue ikhlas soal Riga, ya? Gue masih belum nyambung, nih. Sorry banget,” kataku sambil mengusap pundaknya.
“Lo mau lihat foto-foto Yusuf di Pantai Nyang Nyang?” sahutnya sembari membuka galeri foto. Belum juga kujawab, Faiz memperlihatkan tiga buah foto. Aku syok.
“Nih. Lo kenal dengan partner liburan Yusuf ini?”
“Ya Tuhan Faiz, sesempit itu dunia hiburan?
“Yap, Dion.”
Advertisement
Seemosional Ini
Aku tidak bisa berkatan apa-apa lagi. Hanya bisa mengusap lengan dan punggung Faiz. Suasana menjadi hening. Aku tahu Faiz butuh jeda sejenak. Seumur-umur mengenalnya, baru kali ini aku melihatnya seemosional ini.
Seolah ini beban yang berbulan-bulan disangga sendiri dan tak tahu harus dibagi dengan siapa. Oke, Faiz. Anggaplah aku orang yang tepat karena kita berdua senasib seperjuangan. Dilepeh oleh orang yang kita cintai demi pihak ketiga.
Setelah sekitar 5 menit suasana senyap, suara Faiz memecah kesenyapan.
Curahan Hati Seorang Faiz
“Berbulan-bulan gue nge-gym. Bikin badan tegap dan sehat. Perawatan muka dua minggu sekali. Makanan dijaga biar perut rata. Berharap orang akan melirik gue dan menganggap gue ada. Yusuf orang pertama yang gue harap bisa menerima gue. Ternyata penerimaan hanya berlangsung dalam hitungan minggu. Dion mengambil semua harapan gue, Lin. Enggak ada sisanya sekarang. Gue kabur ke Yogyakarta ini untuk mencari jawaban apa masih perlu gue menjalani rutinitas sehat jahanam kalau akhirnya gue sendiri lagi,” papar Faiz.
“Lo ngomong apa, sih Iz?’ aku bertanya balik.
Advertisement
Kamu Adalah Faiz Rifa
“Lo itu Faiz Rifa. Manager yang menjadikan orang yang bukan siapa-siapa menjadi siapa-siapa. Lintang itu siapa dulunya? Sekarang jadi siapa? Gue dulu siapa? Dipoles sama lo, sekarang jadi sesukses ini alhamdulillah. Meski di tengah jalan gue keluar dari manajemen lo karena beda sudut pandang, tapi gue akui lo berperan besar dalam karier gue,” ujarku.
“Gue dan Lintang itu salah dua dari sekian banyak produk berkualitas yang lo bentuk. Enggak banyak di negara ini manajer dengan naluri sekuat lo. Lo tuh spesialis mengubah cewek B aja menjadi A plus. Come on, gara-gara cowok enggak jelas kayak Yusuf yang lo kenal di gala premier lo jadi drop begini? Lo pikir semua cowok ganteng dan cewek cantik yang datang ke gala premier itu orang penting? Sebagian enggak kali. Dan lo tahu itu, kan? Yusuf itu bukan orang penting. Bisa jadi dia simpanan si A, atau jadi artis karena mau diajak gituan sama manajer siapalah,” ocehku panjang kali lebar kali tinggi.
Orang Tua Dion
Aku mengingatkan Faiz untuk mengikhlaskan tiket ke Bali. Tak usah ditagih. Ingat harga diri. Lalu kembali ke trek yang benar, dengan hidup sehat. “Lo itu bukan gigolo, Faiz. Lo nge-gym tujuannya bukan agar tarif makin mahal. Oke? Jadi setop berpikir buar apa nge-gym kalau akhirnya sendiri lagi dan sendiri lagi. Ayolah, Faiz yang dulu gue kenal enggak kayak begini,” aku menukas
“Dion ini bapaknya pegawai perusahaan multinasional. Kantornya di SCBD. Nyokapnya sosialita,” beri tahu dia.
“Bokap nyokap bermartabat, belum tentu anaknya juga punya martabat. Sudah. Skip it. Dua ratus meter dari hotel ini ada Gudeg Yu Djum. Dan lo tahu kan, diet itu selalu mulai besok? Cus!” ajakku sambil menyenggol lengan Faiz. Aha! Senyumnya mekar lagi.
Advertisement
Permintaan Maaf Faiz
Aku dan Faiz berjalan kaki menyusuri trotoar menuju rumah makan Yu Djum. Hari mulai gelap.
“Sorry ya, Lin. Gue mendiamkan lo setahun karena enggak terima lo keluar dari manajemen gue. Jujur waktu itu gue merasa kehilangan dan sikap gue kekanak-kanakan, sih waktu itu,” Faiz memulai obrolan lagi.
“Enggak apa-apa. Kan sekarang gue kena karmanya. Diputusin Riga demi Dion yang ternyata pelakor,” jawabku kemudian tertawa.
“Dih, kok lo mikirnya begitu, sih?”
“Gue kan enggak tahu nasib apes datang karena apa. Gue nanya Tuhan beberapa kali, jawabannya enggak kedengaran. Akhirnya gue anggap ini karena pernah nyakitin orang. Kamu mungkin?”
(Bersambung)
(Anjali L.)
Disclaimer:
Kisah dalam cerita ini adalah milik penulis. Jika ada kesamaan jalan cerita, tokoh dan tempat kejadian itu hanya kebetulan. Seluruh karya ini dilindungi oleh hak cipta di bawah publikasi Liputan6.com.