Liputan6.com, Jakarta Aktor Fedi Nuril berbagi cerita kali pertama ditawari naskah film 1 Imam 2 Makmum karya sineas Key Mangunsong. Kali pertama diajak meeting produser dan melihat judulnya, bintang film Ayat-ayat Cinta langsung bersemangat.
“Pertama kali meeting, masuk ke ruang meeting, duduk, dikasih lihat judul 1 Imam 2 Makmum, berangkat! Langsung (semangat banget),” kata Fedi Nuril kepada Showbiz Liputan6.com di Senayan, Jakarta, Selasa (26/11/2024).
Advertisement
Baca Juga
Setelah diberi gambaran detail alur cerita 1 Imam 2 Makmum, sang aktor malah pikir-pikir. Rupanya, film ini bukan drama poligami melainkan soal suami yang ditinggal mati belahan jiwanya hingga susah move on.
Advertisement
Mendapati detail naskah ini, Fedi Nuril malah pikir-pikir. Maklum, lewat film Ayat-ayat Cinta dan trilogi Surga Yang Tak Dirindukan, Fedi Nuril digelari aktor poligami Indonesia. Citra ini kadung melekat di benak netizen.
Pikir-pikir Usai Baca Skrip
Dalam hati kecilnya, Fedi Nuril sebenarnya jatuh hati pada naskah 1 Imam 2 Makmum yang ditulis Ratih Kumala, penulis skenario serial Gadis Kretek yang fenomenal.
“Begitu dikasih skrip, oh bukan (drama poligami) ternyata. Saya kan ada image yang harus dijaga? Ada konsistensi (peran pria poligami) yang harus dijaga ha ha ha. Akhirnya mikir dulu. Saya berpikir dulu deh. Ternyata judulnya menjebak,” akunya.
Advertisement
Lebih Horor dari Poligami
“Tapi, begitu saya baca (naskahnya). Menurut saya ini lebih horor daripada sekadar drama poligami karena saya pun juga sampai riset dengan psikolog untuk mendalami tokoh yang berduka ini,” Fedi Nuril menyambung.
Ayah tiga anak ini mencoba berempati pada karakter Arman yang dipercayakan kepadanya. Bagaimana laki-laki cinta mati pada istri. Lalu, saat istri mangkat duluan, ia hidup dalam bayang-bayang dan kenangan bersama almarhumah.
Bersaing Dengan Memori
Bagi Fedi Nuril, karater Arman menyangga beban berat. Mengikhlaskan pasangan dipanggil Sang Khalik tak semudah mengucapkannya. Karenanya, Fedi Nuril menyelami kejiwaan Arman lewat diskusi intens dengan psikolog.
“Bersaing dengan memori itu bisa lebih berat karena kita enggak pernah tahu kapan memori mengikhlaskan itu. (Hingga) akhirnya bisa tergantikan dengan sosok baru,” ia mengakhiri.
Advertisement