Emil Dardak Ungkap Kendala Pengoperasian Pembangkit Tenaga Listrik Sampah di Surabaya

Surabaya akan menjadi kota pertama di Indonesia yang mengoperasikan PLTSa berteknologi insinerasi atau pembakaran bahan organik.

diperbarui 17 Jul 2019, 15:31 WIB
Diterbitkan 17 Jul 2019, 15:31 WIB
Emil Dardak
Calon wakil gubernur Jawa Timur Emil Dardak berbagi kisah inspiratif dalam acara Inspirato di SCTV Tower, Jakarta, Selasa (20/3). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Jakarta - Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak optimistis pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dapat menjadi salah satu solusi masalah sampah di Jawa Timur. Surabaya pun akan menjadi kota pertama di Indonesia yang mengoperasikan PLTSa berteknologi insinerasi atau pembakaran bahan organik.

Sampah-sampah akan musnah dengan teknologi itu. Prosesnya dapat menghasilkan listrik sebesar 9-.10 mega watt (MW) dari 1.500 ton sampah yang diproses setiap harinya.

Meski demikian, Emil mengungkapkan masih ada ganjalan beroperasinya PLTSa di Surabaya. Salah satu belum ada penandatanganan kontrak jual beli listrik antara PT PLN dengan pengelola PLTSa.

Dia menuturkan, kalau urusan kontrak itu dapat selesai dalam waktu dekat, Surabaya langsung jadi kota pertama di Indonesia yang mengoperasikan PLTSa.

"Hambatannya, bagaimana segera ada penandatanganan perjanjian jual beli listrik PT PLN dengan pengelola. Kalau bisa selesai, tempat Bu Risma (Surabaya) akan jadi pertama mengoperasikan PLTSa," ujar dia, seperti dikutip dari laman suarasurabaya.net, Rabu (17/7/2019).

Ia menuturkan, daerah lain di Jawa Timur juga ingin operasikan pembangkit listrik tenaga sampah berteknologi insinerasi antara lain Sidoarjo, Malang Raya, Lamongan, Pasuruan, Jember dan Gresik.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Bukan Bisnis Listrik

Tiba di Surabaya, Jelajah Kebangsaan Dihadiri Menhub dan Wagub Jatim
Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan Mafud MD (tengah) memberikan cenderamata kepada Menhub Budi Karya Sumadi (kiri) dan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak saat dialog Jelajah Kebangsaan di Stasiun Gubeng, Surabaya, Kamis (21/2). (Liputan6.com/JohanTallo)

Emil menegaskan, tujuan utama pengoperasian PLTSa bukan bisnis listrik. Akan tetapi, upaya memusnahkan sampah agar tidak menumpuk dan menjadi sumber penyakit.

Ia mengatakan, dalam rapat terbatas yang dihadiri sejumlah menteri kabinet kerja dan kepala daerah, Presiden sudah menetapkan tarif jual beli listrik hasil PLTSa.

Pengelola PLTSa pun tidak bisa mematok harga jual tinggi dan pihak pembeli (PT PLN) tidak bisa meminta harga murah.

Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini menuturkan, Surabaya sudah mulai membangun pengolah sampah menjadi energi listrik dari 2012. Untuk pembangkit listrik berteknologi insinerasi, Risma menuturkan, pembangunannya sudah sekitar 80 persen. Saat ini dalam tahap penyelesaian.

Ia menuturkan, finalisasi tinggal addendum kontrak dengan PT PLN. Kalau bulan ini urusan kontrak dengan PT PLN selesai, pada November 2019, pembangkit listrik tenaga sampah itu beroperasi di Surabaya, Jawa Timur.

Surabaya Siap Operasikan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah

Ilustrasi tong sampah (iStock)
Ilustrasi tong sampah (iStock)

Sebelumnya, empat kabupaten dan kota dinyatakan siap melaksanakan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa), salah satunya Surabaya, Jawa Timur. Hal ini setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengecek langsung satu per satu dari 12 kota/kabupaten yang mengusulkan untuk pembangunan PLTSa.

"Mudah-mudahan tahun ini ada yang bisa selesai, yaitu di antaranya adalah Surabaya, Bekasi, Solo yang prosesnya cukup baik. Kemudian yang sudah mulai adalah DKI Jakarta," ujar Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung, usai Rapat Terbatas Perkembangan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di Kantor Presiden, seperti dikutip dari laman Setkab, Selasa, 16 Juli 2019.

Daerah lain yang persoalannya relatif sudah tertangani dengan baik, menurut Pramono yaitu Bali. Oleh karena itu, Pramono dalam kesempatan itu didampingi Sekda dan Wakil Wali Kota Denpasar.

Ia menuturkan, persoalan sampah ini sudah cukup lama karena memang ada perbedaan persepsi, pandangan antara PLN dengan daerah-daerah yang ada.

"Tadi presiden menegaskan karena Perpresnya sudah ada. Hitungannya sudah ada, Rp 13 koma sekian per KWH,” maka itulah yang dijadikan acuan. Maka diminta kepada PLN dalam hal ini perhitungannya bukan berdasarkan keuntungan tetapi sekali lagi adalah dalam rangka untuk pembersihan sampah di kota-kota yang ada,” ujar dia.

Ia mencontohkan, di Bekasi itu sudah hampir 1.700 ton per hari. Belum yang 8.000 ton per hari dari Bantar Gebang, dari Bekasi sendiri sudah cukup tinggi.

Jadi dengan demikian empat kota prioritas yaitu Surabaya, Bekasi, Solo, dan DKI Jakarta akan dikawal secara langsung oleh presiden untuk penyelesaiannya. Kemudian kelima adalah Bali. Sedangkan tujuh daerah lainnya diminta untuk membuat prototype sama dengan daerah-daerah yang lain.

Persoalan yang ada, menurut dia selalu klasik yaitu persoalan tipping fee. Ini karena setiap daerah, hal yang berkaitan dengan tipping fee atau biaya pengelolaan sampah ini berbeda-beda. Jawa Timur misalnya cukup murah, hanya sekitar Rp 150.

Padahal menurut dia, tipping fee di dalam Perpes sudah diatur maksimum sebesar-besarnya Rp 500 sehingga sudah ada payung hukumnya. Akan tetapi, semuanya tidak berani ambil posisi, mengambil kebijakan karena takut persoalan hukum dan sebagainya.

"Maka presiden menegaskan bahwa risalah rapat pada hari ini adalah merupakan payung hukum, termasuk payung hukum di dalam menyelesaikan semua persoalan yang ada di dalam penyelesaian sampah," kata dia.

Ia mengharapkan, lima daerah ini segera selesai, dan tujuh daerah segera bisa mengikuti karena peraturan presidennya sudah sangat jelas terhadal hal itu.

 

 

Penanganan Berbeda-Beda

Ilustrasi Sampah
Ilustrasi sampah (dok. Pixabay.com/Putu Elmira)

Ia menambahkan, masalah penanganan LTSa ini memang berbeda-beda. Contohnya DKI Jakarta misalkan, persoalan sampah sangat serius. Oleh karena itu, DKI Jakarta sendiri, hampir 2.000 yang siap untuk dijadikan pembangkit listrik tenaga sampah, sedangkan di daerah lain rata-rata itu 1.000 ton sudah cukup seperti Solo.

Bekasi karena penyangga Jakarta kemudian juga Tangerang, sampahnya cukup besar. Sampah ini menjadi persoalan yang cukup serius di beberapa kota besar sehingga pembangkit listrik tenaga sampah dalam rangka menyelesaikan persoalan itu.

"Jadi persoalan sampah harus diutamakan bukan persoalan keuntungan yang diperoleh secara pembangkit listriknya," kata dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya