Dosen Filsafat Unair Tanggapi Imbauan MUI soal Larangan Salam Lintas Agama

Imbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang melarang pejabat menyampaikan salam lintas agama masih menjadi pro dan kontra.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 14 Nov 2019, 12:00 WIB
Diterbitkan 14 Nov 2019, 12:00 WIB
(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Dosen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga, Dr Listiyono Santoso. (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Surabaya - Imbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang melarang pejabat menyampaikan salam lintas agama masih menjadi pro dan kontra. Para politikus angkat bicara mengenai imbauan tersebut dan menganggap masih perlu tinjauan ulang.

Masalah tersebut membuat Ketua Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU) dan Dosen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga, Dr Listiyono Santoso, mengutarakan pendapatnya dari sudut sosiologis. Listiyono mengungkapkan sebagai sebuah imbauan, tidak masalah ketika imbauan tersebut tidak menjadi fatwa yang memaksa.

"Sebagai imbauan tidak masalah ketika MUI tidak menjadikannya fatwa yang melarang penggunaan salam semua agama saya juga tidak mempersoalkan salam semua agama,” ungkapnya, Kamis (14/11/2019). 

Listiyono mengungkapkan penyampaian salam yang terlalu panjang, apalagi harus menghadirkan banyak salam karena representasi semua agama juga tidak selamanya harus dilakukan. Penggunaan salam masih bisa dengan cara lain yang sudah mewakili salam semua agama.

Pada era Gus Dur pernah mengusulkan kata selamat pagi atau selamat siang dan salam sejahtera untuk masyarakat yang menggunakan. Tujuannya adalah agar tidak harus mengucapkan salam semua agama dengan efektifitas kata bahkan waktu. 

Usulan yang dicanangkan Gus Dur pun juga mendapatkan pertentangan dan polemik. Listiyono berpendapat cukup salam itu yang bersifat publik. Hal tersebut karena makna salam selain doa juga sebagai ungkapan sapaan awal. 

"Jika itu (salam lintas agama, Red) saja dibuat rumit dan ribet, ucapkan selamat pagi dan salam sejahtera juga tidak salah,” ujar dia.

Secara sosiologis, masyarakat juga dapat menggunakan salam sesuai agama masing masing. Setelah salam tersebut dapat diikuti sengan selamat pagi atau salam sejahtera bagi kita semua.

Listiyono juga berpendapat imbauan yang dikeluarkan MUI tidak mencoreng sikap toleransi antar agama. Dia menuturkan, selama ini masyarakat publik terbiasa menerima salam dalam bentuk apapun ketika dalam ruang publik. Hanya saja tujuan dibalik MUI mengeluarkan imbauan itu perlu ditanyakandan kenapa tidak imbauan soal publik lain seperti wajib bayar BPJS, korupsi, atau hal lainnya.

Sikap toleransi di Indonesia sudah lama terjaga, jika ada anasir-anasir yang mengganggu, menurutnya sudah biasa. Listiyono menjamin imbauan MUI Jatim tidak akan memberikan dampak bagi toleransi antar umat beragama. 

Sebagai pemecahan masalah, Listiyono memberikan solusi  penggunaan salam dengan Salam Pancasila dapat dilakukan. Salam tersebut sudah digaungkan pada masa Sukarno dengan mengangkat lima jari sampai bahu dekat kepala.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

MUI Jatim Imbau Larangan Salam Lintas Agama, Ini Respons Risma

(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini (Risma) hadiri pertunjukan kesenian bertajuk “Sawunggaling Anak Dunia”. (Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Sebelumnya, Dewan pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur (Jatim) mengeluarkan imbauan mengenai pejabat untuk tidak perlu mengucapkan salam lintas agama dalam agenda resmi. 

Menanggapi hal tersebut, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma) menyampaikan imbauan tersebut tidak bisa dilaksanakan terhadap dirinya.  "Ya enggak apa-apa, masa menghormati orang lain enggak boleh," ujar dia, Senin, 11 November 2019. 

Risma menuturkan, hal ini tidak bisa diterapkan di Surabaya karena warganya yang plural bahkan dalam agama.

"Apa lagi warga saya reno-reno (warna-warni), sing milih aku yo reno-reno (yang milih saya juga warna - warni)," ujar dia. 

Sementara itu, Ketua Umum MUI Jatim KH Abdusshomad Buchori menyampaikan, sesuai dengan pertemuan atau Rakernas MUI di NTB, merekomendasikan tidak boleh salam sederet semua agama yang dibacakan oleh pejabat. 

Pihaknya telah menandatangani atau membuat seruan itu karena doa itu adalah ibadah. Misalnya salam, Assalamualaikum itu doa, salam itu termasuk doa dan doa itu ibadah. 

"Menyebut assalamualaikum itu doa, semoga Allah SWT memberi keselamatan kepada kamu sekalian dan itu salam umat Islam. Jadi ketika umat muslim bertemu itu diawali dengan itu, semoga mendapat keselamatan yang diberikan oleh Allah," tuturnya, Senin, 11 November 2019. 

Dia mengatakan, agama lain juga punya salam. Misalnya pejabat, seorang gubernur, seorang presiden, wakil presiden, para menteri. Ia menuturkan, kalau seseorang itu agamanya muslim ya pakai salam assalamualaikum. 

"Tapi mungkin kalau gubernur Bali ya dia pakai salam Hindu. Karena salam itu adalah doa dan doa itu ibadah, ini menyangkut Tuhan dan agamanya masing - masing," kata dia. 

Dia mengatakan, menggunakan salam campuran itu mencampuradukkan agama atau pluralisme agama itu tidak boleh. "Saya terangkan di dalam tausyiah agama itu tidak boleh. Karena agama itu eksklusif, karena keyakinan itu adalah sistem, agama itu sistem keyakinan dan agama punya sistem ibadah sendiri - sendiri," ucapnya. 

Sedangkan kaitan dengan toleransi, pihaknya setuju dalam perbedaan, saling menghormati dan menghargai. "Bukan berarti kalau orang salam nyebut semua itu wujud kerukunan. Itu perusak kepada ajaran agama tertentu," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya