Liputan6.com, Malang - Sudah lebih dari tiga tahun terakhir ini kawasan Kayutangan Heritage Malang terus dibenahi. Telah menghabiskan anggaran puluhan miliar rupiah, dengan harapan menjadi landmark baru sekaligus destinasi wisata di kota ini.
Penataan kawasan dilakukan secara bertahap sejak 2019 sampai 2022 ini. Pada tahun ini, sekali lagi dibenahi lewat proyek lanjutan penataan bangunan dan lingkungan di Zona III Kayutangan Heritage Malang. Dialokasikan anggaran sebesar Rp 5,8 miliar dari APBD Kota Malang 2022.
Advertisement
Proyek sedang dikerjakan CV Sinar Mulya selaku pemenang lelang dengan nilai kontrak pengerjaan lebih dari Rp 4,5 miliar. Masa pelaksanaan selama 205 hari, terhitung sejak Maret lalu dan ditarget selesai pada September 2022 mendatang.
Advertisement
“Salah satu pekerjaannya adalah pelebaran pedestrian di kiri kanan jalan mulai dari titik gang empat sampai depan Sarinah,” kata Budi Setiawan, pelaksana proyek dari CV Sinar Mulya.
Pedestrian dibangun dengan batu ampyang, sama seperti pedestrian lama yang dibongkar. Namun kali ini dipasang ducting atau saluran kabel di bawahnya yang semula tidak ada. Sehingga seluruh kabel jaringan listrik maupun provider telekomunikasi bakal ditanam di bawah.
“Setahu saya, di Kayutangan zona satu dan dua sudah ada saluran kabel,” ucap Budi.
Pemkot Malang membagi penataan kawasan Kayutangan Heritage menjadi tiga zona. Zona I mulai simpang PLN - simpang Rajabaly. Zona II dari Rajabaly - Jalan Jenderal Basuki Rahmat Gang IV. Zona III dari Jalan Jenderal Basuki Rahmat Gang IV - Patung Chairil Anwar dan Sarinah.
Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPUPRPKP) Kota Malang, Diah Ayu Kusumadewi, mengatakan proyek penataan kawasan Kayutangan Heritage dilakukan secara bertahap.
“Kalau tahun ini adalah penataan lanjutan, meneruskan pengerjaan yang selesai tahun lalu,” kata Diah Ayu.
Proyek Penataan Kayutangan
Proyek pembenahan dan penataan pertama kali dilakukan pada 2019 silam di Zona III titik Patung Chairil Anwar senilai Rp 1,6 miliar dari APBD Kota Malang. Proyek ini bermasalah, rekanan harus membayar kekurangan volume pengerjaan senilai Rp 289 juta sesuai temuan kejaksaan.
Selanjutnya, proyek penataan kawasan Zona I dan II selama 2020-2021 senilai Rp 23 miliar lewat Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) Kementerian PUPR. Berupa pemasangan batu andesit di simpang PLN dan Rajabali, pedestrian, pemasangan kursi taman dan penataan permukiman.
Zona I dan II kembali digelontor duit lebih dari 1,6 miliar dari APBD Kota Malang 2021. Dipakai untuk pemasangan 98 lampu hias dan penanaman 38 pohon tabebuya mulai dari Simpang PLN sampai Jalan Jenderal Basuki Rahmat Gang 4.
Tahun ini Zona III sekali lagi dibenahi lewat proyek lanjutan senilai Rp 5,8 miliar dari APBD Kota Malang 2022. Untuk penataan pedestrian, pemasangan bollard bentuk bola dan tiang beton pembatas jalan, sampai menata ulang batu andesit di Monumen Chairil Anwar.
Plt Kepala DPUPRPKP Kota Malang, Diah Ayu Kusumadewi, mengatakan proyek lanjutan di zona III pada tahun ini merupakan lanjutan penataan zona I dan II yang selesai tahun lalu yang bersumber dari program KotaKu.
“Program Kotaku itu kan di zona satu dan dua saja. Tahun ini hanya melanjutkan saja di zona tiga,” kata Diah.
Ia menjelaskan, batu andesit di depan Monumen Chairil Anwar yang dipasang pada 2019 banyak yang sudah goyang. Seluruh andesit itu akan dilepas, dihitung lalu dicek dan diganti dengan yang baru untuk yang rusak dan yang masih bagus tetap dipakai. Serta ada pengerasan di bawahnya.
“Dulu supaya resapan air bagus, bawahnya hanya pasir saja. Nanti diperkeras, baru dipasang lagi seperti andesit di simpang PLN dan Rajabaly. Saluran drainase juga diperbaiki,” ujar Diah.
Ia menambahkan, terkait pelestarian bangunan – bangunan lama era kolonial Belanda di sepanjang kawasan Kayutangan Heritage jadi kewenangan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Termasuk bangunan yang diusulkan menjadi cagar budaya Kota Malang.
Advertisement
Pelestarian Kayutangan
Kawasan Kayutangan mewakili jejak sejarah dan bagian dari perkembangan peradaban Kota Malang dari masa klasik, kolonial sampai hari ini. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, kawasan ini dikenal sebagai salah satu sentra perdagangan dengan bangunan ikonik.
Meski begitu, di sepanjang jalur utama Jalan Kayutangan, baru segelintir bangunan berstatus cagar budaya yang ditetapkan pada 2018 silam. Yakni Gedung PLN Malang, Toko Avia, Toko Oen dan Bangunan Bank Commonwealth.
Selain itu ada Kampung Kayutangan yang terdapat rumah-rumah berarsitektur kolonial. Pada 2022 ini baru Rumah Jacoeb serta Makam Mbah Honggo, makam tokoh yang diyakini penyebar Islam di dalam kampong itu yang ditetapkan sebagai cagar budaya.
Guru besar Sejarah dan Pelestarian Arsitektur Universitas Brawijaya Malang, Antariksa Sudikno, mengatakan penataan Kayutangan harus memperhatikan pelestarian kawasan meliputi bangunan peninggalan masa kolonial maupun warga di Kampung Kayutangan.
“Jangan ditata aspek fisik saja. Jangan lupakan Kampung Kayutangan, pelestarian heritage yang sebenarnya itu ya juga kehidupan secara sosial ekonominya,” kata penulis buku Pelestarian Arsitektur dan Kota Terpadu ini.
Pemkot Malang perlu menyusun pedoman penataan kawasan dengan melibatkan pemilik, pengelola bangunan dan warga di sana. Termasuk memuat hak dan kewajiban pemilik bangunan-bangunan lama maupun pemkot sendiri.
Sebenarnya ada Perda Nomor 1 tahun 2018 tentang Cagar Budaya. Juga memuat aturan insentif keringanan pajak bumi dan bangunan dan kemudahan perizinan bagi pemilik, penghuni dan pengelola cagar budaya. Serta kompensasi bagi tiap orang yang menemukan Cagar Budaya.
“Kalau hanya insentif itu saja tidak cukup. Perlu kompensasi seperti pemkot menanggung biaya perbaikan dan perawatannya. Sehingga sampai anak cucu bisa tetap terjaga,” ujarnya.
Harus ada kajian secara matang terhadap bangunan lama, termasuk yang terbengkalai sebelum ditetapkan sebagai cagar budaya. Mempertimbangkan fasad saja yang masih terjaga meski bagian dalam bangunan berubah agar tampak nuansa heritage kawasan itu.
Lalu bisa difungsikan sebagai sentra bisnis perdagangan asal tak mengubah bangunan dan nilai historisnya. Tinggal komunikasi antara pemkot dengan pemilik bangunan. Agar kawasan itu hidup dan berdampak bagi masyarakat. Antarsiksa mencontohkan seperti kawasan Braga, Bandung.
“Pelestarian itu melewati proses, bukan proyek sematara. Bila kawasan itu hidup, warga sekitar harus merasakan dampaknya,” kata Antariksa.