Liputan6.com, Surabaya - Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Erwin Astha Triyono memastikan di daerahnya belum ada kasus cacar monyet atau monkey pox (mpox).
"Alhamdulillah di Jatim belum ada kasus konfirmasi mpox dan semoga virus tersebut tidak masuk ke Jatim. Walaupun begitu, kita tidak boleh lengah, kita harus tetap waspada dan patuhi protokol kesehatan," kata Erwin, Sabtu (3/11/2023).
Baca Juga
Erwin menjelaskan, virus mpox ditularkan dari manusia ke manusia, melalui droplet, lesi kulit dan benda yang terkontaminasi serta dari hewan ke manusia melalui gigitan, daging olahan, kontak langsung dan benda yang terkontaminasi.
Advertisement
"Mpox ini meskipun disebut penyakit menular tapi risiko penularannya tidak mudah. Berbeda dengan cacar air yang penularannya sangat cepat, mpox ini relatif lambat. Ini juga tergantung dari daya tahan tubuh setiap orang," ujarnya.
Gejalanya antara lain demam, sakit kepala hebat, pembengkakan kelenjar getah bening, nyeri punggung, nyeri otot, kelelahan yang terus menerus, nyeri tenggorokan, batuk dan hidung tersumbat, kemudian diikuti fase erupsi berupa munculnya ruam atau lesi pada kulit.
Penyakit ini umumnya bersifat ringan dengan gejala yang berlangsung sekitar 2 – 4 minggu, namun dapat berkembang menjadi berat hingga kematian.
"Dari sejumlah kasus konfirmasi mpox di Indonesia, mayoritas bergejala ringan dan tidak ada yang meninggal," katanya.
Namun, ia tetap mengimbau jika masyarakat mengalami atau menemui gejala serupa, segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat, untuk mendapatkan penanganan klinis sehingga dapat mempercepat proses pemulihan dan meminimalisir bekas luka.
Â
Surat Edaran
Sebagai upaya pencegahan dan pengendalian kasus mpox, Dinkes Jatim telah mengirimkan Surat Edaran Nomor : 400.7.7.1/8660/102.3/2023 kepada seluruh kadinkes kabupaten/ kota, organisasi profesi, dan fasilitas kesehatan termasuk rumah sakit untuk waspada dan segera melaporkan bila menemukan kasus yang memenuhi syarat sebagai kasus mpox, menyiapkan fasilitas pertolongan termasuk isolasi penderita dan karantina selama tiga sampai dengan empat minggu.
Kemudian, meningkatkan jejaring dengan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di wilayah kabupaten/kota untuk kewaspadaan dini, melakukan sosialisasi kepada organisasi profesi yang mungkin bisa menemukan pasien di lapangan, bekerja sama dengan layanan HIV dan IMS yg potensinya sangat besar dalam penemuan kasus serta menyiapkan tim penyelidikan epidemiologi (PE) sebagai langkah tindak lanjut.
Advertisement