KPPU Tolak Permohonan Aturan Tarif Data, Ini Kata Bos Indosat

KPPU menolak surat permohonan Indosat Ooredoo yang meminta Kemkominfo untuk membuat aturan tarif layanan data.

oleh Corry Anestia diperbarui 23 Jul 2017, 13:00 WIB
Diterbitkan 23 Jul 2017, 13:00 WIB
Freedom Bus Indosat Ooredoo
Indosat Ooredoo menghadirkan enam unit Freedom Bus yang dapat digunakan secara cuma-cuma oleh masyarakat Jakarta sejak Senin, 21 Februari hingga 22 Maret 2016. (Foto: Indosat Ooredoo).

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa waktu lalu surat yang dikirimkan Indosat Ooredoo kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara sempat terkuak. Isi surat yang dikirimkan pada 17 Juli 2017 itu berisi tentang permohonan Indosat kepada pemerintah untuk menerbitkan aturan tarif layanan data. 

Tak lama berselang, Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU) pun segera mengeluarkan keputusan yang menolak permohonan operator berwarna kuning tersebut. Salah satu pertimbangannya adalah aturan tarif data dinilai akan menghambat industri telekomunikasi dan ekonomi nasional.

Menanggapi hal itu, Presiden Direktur dan CEO Indosat Ooredoo mengatakan bahwa pihaknya tetap mengapresiasi keputusan tersebut. Meski ditolak, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) juga diketahui tengah mengkaji surat tersebut.

"Tidak apa-apa. Ini kan bagian dari dialog, yang ditolak (KPPU) juga tarif batas bawah. Sementara yang kami propose adalah efektif data yield. Tapi seperti yang saya sampaikan, ini adalah dialog," ungkap pria yang karib disapa Alex tersebut kepada Tekno Liputan6.com.

Data yield, seperti diungkap Alex, adalah total pendapatan data dibagi total trafik data. Semakin tinggi yield, maka semakin tinggi efisiensi pada operator.  Menurut Alex, data yield Indosat pada kuartal pertama 2014 sebesar Rp 63 ribu per GB. Namun, data yield ini terus merosot di kuartal-kuartal berikutnya. Tercatat pada kuartal pertama 2017, data yield hanya Rp 15 ribu.

"Tarif terserah diatur seperti apa, per daerah per waktu dan seterusnya. Yang kami minta adalah (atur) data yield)," tambah Alex.

Adapun, sekilas surat yang dikirimkan Kemkominfo berisikan permintaan Indosat agar pemerintah juga mengatur tarif komunikasi data. Saat ini, aturan yang sudah ada hanya mengatur layanan komunikasi voice dan SMS. 

Permintaan ini dinilai berdasar karena Indosat melihat adanya situasi persaingan usaha tidak sehat, di mana operator terjebak dalam perang tarif. Selain itu, tingkat harga layanan data di Indonesia sangat rendah dan jauh di bawah harga layanan sejenis di negara lain. Selain itu layanan data di Tanah Air dijual dengan harga di bawah biaya produksi.

KPPU Tolak Permohonan Indosat

Tak lama setelah pengajuan surat tersebut, KPPU pun ambil keputusan. Menurut Ketua KPPU, Syarkawi Rauf perang tarif merupakan fenomena biasa dalam mekanisme pasar. Setiap operator menawarkan berbagai skema tarif demi mendongkrak penjualan dan penetrasi pasar. 

"Semakin efisien perusahaan, semakin besar kemampuan menawarkan tarif yang kompetitif. Karena tingkat efisiensi perusahaan beragam, muncul berbagai besaran tarif di pasar," ujar Syarkawi.

Untuk itu, lanjut Syarkawi, ia menilai bahwa hal kebijakan tarif layanan data tidak perlu dilakukan karena bisa berdampak buruk terhadap penentuan batas bawah tarif industri telekomunikasi jangka panjang dan ekonomi nasional secara keseluruhan. Ini lima pertimbangannya menurut Syarkawi:

Pertama, setiap operator menawarkan tarif berbeda, termasuk menghasilkan tarif yang terjangkau oleh masyarakat. Saat ini, konsumen bisa menemukan tarif yang variatif di pasar mulai dari Rp 25.000 per GB hingga Rp 57.000 per GB.

Kedua, masalah utama kebijakan tarif batas bawah terletak pada penentuan besarannya. Besaran tarif batas bawah umumnya ditetapkan untuk melindungi seluruh pelaku usaha tanpa terkecuali, termasuk pelaku usaha yang tidak efisien. Hal ini justru menjadi beban bagi industri dan ekonomi nasional.

Lalu pertimbangan ketiga, batas bawah tarif menjadi penghambat operator yang efisien dan mampu menghasilkan besaran tarif di batas bawah. Dengan begitu, pelaku usaha tersebut tidak dapat menggunakan hasil efisiensinya untuk memenangkan persaingan.

Dalam jangka panjang, hal tersebut justru akan menciptakan disinsentif bagi efisiensi industri telekomunikasi yang berujung pada rendahnya tarif, dan akan memicu kenaikan tarif. Keempat, terhalangnya tarif rendah di bawah besaran batas bawah tarif akan membuat masyarakat kehilangan tarif terjangkau.

Terakhir, dalam ekonomi nasional, kebijakan batas bawah tarif cenderung memicu terjadinya inflasi. Hal ini karena ada potensi pelaku usaha meminta kenaikan tarif batas bawah secara berkala.

(Cas)

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya