Pengamat: Harga Penawaran Telkomsel untuk 2.3GHz Terbilang Murah

Pengamat menilai harga yang ditawarkan Telkomsel masih terbilang murah mengingat blok yang dilelang di 2.300MHz adalah blok terakhir tersisa

oleh Corry Anestia diperbarui 22 Okt 2017, 10:00 WIB
Diterbitkan 22 Okt 2017, 10:00 WIB
BTS
BTS (wikimedia.org)

Liputan6.com, Jakarta - Operator seluler Telkomsel menjadi kandidat untuk memenangkan lelang frekuensi di 2.300MHz dengan harga penawaran sebesar Rp 1,007 triliun atau tiga kali lipat lebih tinggi dari harga yang ditawarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, yakni sebesar Rp 366 miliar.

Pengamat menilai harga yang ditawarkan Telkomsel masih terbilang murah. Pasalnya menurut pengamat ekonomi dan Chief Economist Danareksa, Kahlil Rowter, pita 30MHz di 2.300MHz adalah blok terakhir yang tersisa di kanal tersebut. Sedangkan, frekuensi merupakan salah satu sumber daya terbatas.

Selain itu, Kahlil memperkirakan penambahan frekuensi Telkomsel bakal mendongkrak kinerja keuangannya. Ia bahkan optimistis Telkomsel sudah balik modal dalam kurun waktu beberapa tahun saja.

"Jika dihitung kisarannya, biaya yang dikeluarkan Telkomsel untuk frekuensi tak sampai 10 persen dari pendapatannya. Artinya, frekuensi di Indonesia masih murah dan tak bakal membebani konsumen," tutur Kahlil dalam keterangan resminya.

Hal ini berdasarkan perhitungan pendapatan Telkomsel tahun lalu. Per 2016, Telkomsel memiliki total frekuensi selebar 52,5MHz (900MHz, 1.800MHz, dan 2.100MHz). Dari total kepemilikan frekuensi, anak usaha Telkom ini mengantongi pendapatan hingga Rp 86 triliun dan laba bersih Rp 28 triliun.

Adapun, total biaya frekuensi pada 2016 mencapai Rp 3,6 triliun atau setara Rp 0,07/MHz. Sementara, harga frekuensi di 2.300MHz adalah Rp 1,007 triliun untuk 30MHz atau setara dengan Rp 0.033/MHz.

Dengan perhitungan ini, Kahlil berharap lelang frekuensi tersisa di kanal 2.100MHz juga mendapatkan harga penawaran terbaik untuk negara. Kendati demikian, Kahlil berharap pemerintah lebih tegas kepada operator agar komitmen pembangunan jaringan telekomunikasi minimal 10 tahun dapat terlaksanakan.

"Kalau dikelola dengan baik, frekuensi akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, negara, dan perusahaan telekomunikasi. Pemerintah harus jeli memilih pemenang lelang yang benar-benar ingin membangun telekomunikasi di Indonesia," tuturnya.

Sementara itu, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB, M Ridwan Effendi menambahkan harga frekuensi yang dimenangkan Telkomsel masih terbilang murah dibandingkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

"Harga yang mereka bayarkan itu bisa lima kali lebih mahal dari harga frekuensi di Indonesia," ungkap Ridwan.

Acuan Harga Lelang

Sebelumnya, Menkominfo Rudiantara mengungkap harga dasar lelang untuk frekuensi 2.100MHz adalah Rp 296,742 miliar, sedangkan frekuensi 2.300MHz sebesad Rp 366,720 miliar. Menurutnya, acuan harga itu didasarkan pada harga paling tinggi yang dibayarkan oleh operator telekomunikasi di masing-masing frekuensi.

"Aturannya adalah minimal harus sama dari harga yang dibayarkan saat ini," ujarnya ditemui beberapa waktu lalu di Jakarta. Selain itu, teknologi yang berbeda di masing-masing frekuensi juga menjadi patokan penentuan harga.

Sebagai informasi, frekuensi 2.100MHz menggunakan moda Frequency Division Duplexing (FDD) berpasangan pada rentang 1970–1975MHz dengan 2160-2165MHz (Blok 11), dan rentang 1975-1980MHz berpasangan dengan 2165–2170MHz (Blok 12). Sementara 2.300MHz memiliki moda Time Division Duplexing (TDD) dengan lebar frekuensi 30MHz.

"Dari sisi teknologi, memang harga 2.1GHz dan 2.3GHz berbeda. Yang satu menggunakan TDD dan satunya FDD berpasangan," jelasnya. Kedua faktor itulah yang kemudian menjadi penentu harga dasar penawaran lelang.

(Cas/Isk)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya