Liputan6.com, Jakarta - Dalam hitung hari, Ramadan akan segera tiba. Kira-kira pada pertengahan Mei 2018, masyarakat Muslim di Indonesia akan menyambut bulan suci ini dengan suka cita.
Lalu, seperti apa suhu dan cuaca Indonesia nanti saat Ramadan tiba?
Baca Juga
Kepala Bagian Humas Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Hary Tirto Djatmiko mengatakan berdasarkan data historis pengamatan di sulurh Indonesia suhu di Mei dan Juni akan mencapai 32 hingga 34 derajat Celcius.
Advertisement
"Yang perlu diperhatikan, seluruh daerah berbeda-beda, namun secara umum berada pada kisaran 32 hingga 34 derajat Celcius," kata Hary beberapa waktu lalu.
Untuk suhu pasti, kata Hary, masyarakat diminta untuk menunggu waktu memasuki Mei dan Juni.
"Secara umum gambarannya semacam itu," ucap dia.
Hary membantah asumsi mengenai kondisi terik yang dialami beberapa waktu ini. Dia justru menilai kondisi suhu saat ini normal. "Panasnya normal," lanjutnya.
Hary mengatakan suhu terik yang dirasakan masyarakat kemungkinan karena transisi musim penghujan ke musim panas yang tergolong cepat. Kondisi ini, kata dia, kemungkinan mempengaruhi adaptasi tubuh.
"Dari musim penghujan tiba-tiba panas. Nggak ada awannya sama sekali, tubuh kaget menyesuaikan," jelasnya menambahkan.
NASA: Pengurangan CO2 Bisa Selamatkan 150 Juta Manusia
Ilmuwan Badan Antariksa dan Penerbangan Amerika Serikat (NASA) melaporkan pengurangan emisi karbondioksida (CO2) jangka pendek dapat menyelamatkan 153 juta jiwa di seluruh dunia.
Penelitian yang didanai NASA dan dilakukan ilmuwan dari Duke University, Amerika Serikat, itu telah dipublikasikan di jurnal Nature Climate Change.
"Pendekatan paling murah hanyalah mengubah kebijakan sektor energi," tulis peneliti utama, Drew Shindell.
"Kebijakan itu akan menyelamatkan 150 juta jiwa manusia dan akan mengurangi risiko iklim jangka panjang," kata Drew menambahkan.
Dilaporkan Anadolu Agency, para ilmuwan menggunakan permodelan yang mengandaikan kebinasaan manusia karena suhu bumi pada 2100 mencapai 2 derajat Celcius.
Kesepakatan Iklim Paris 2015 yang ditandatangani setiap negara menggunakan patokan dua derajat Celcius untuk membuat kebijakan pemotong emisi karbon.
Meski pemotongan itu dirasa sulit dilakukan negara-negara berkembang, para peneliti terus mendesak pengurangan emisi karbon setidaknya jangka pendek.
Sebab, pengurangan karbon jangka pendek dapat menyelamatkan jutaan jiwa ke depannya.
Para peneliti saat ini memantau pengurangan emisi karbon dioksida di 50 kota urban. Dari beberapa kota besar, antara lain Moskow, Los Angeles, New York, Meksiko City, dan Sao Paolo, usaha menekan emisi karbon akan mengurangi kematian dini dari 320.000 jiwa hingga 120.000 jiwa.
Advertisement
Bumi Memanas, Butuh Triliunan Rupiah untuk Kurangi Kadar CO2
Salah satu masalah terbesar yang dihadapi manusia adalah pemanasan global (global warming). Hal ini salah satunya disebabkan oleh karbon dioksida berlebihan.Â
Pasalnya, karbon dioksida membuat lapisan ozon berlubang, panas matahari yang berlebih, es kutub mencair, hingga permukaan air laut meningkat.Â
Sejumlah hal di atas menjadi perhatian Profesor Jum Hansen, mantan kepala ilmu iklim di NASA. Hansen bersama timnya melakukan penelitian, dan temuannya ini patut diwaspadai oleh manusia.Â
Menurutnya, manusia harus segera mengurangi kadar karbon dioksida sejak dini. Jika tidak, generasi selanjutnya harus memilih untuk menghadapi peristiwa cuaca berbahaya atau menghabiskan triliunan dolar untuk mencegahnya.
Sejauh ini, bumi sudah jauh melampaui batas pemanasan global. Kadar polusi di atmosfer bumi tidak akan mungkin berkurang dalam hidup manusia. Meski begitu, para peneliti mengatakan, kita bisa menghilangkan karbon dioksida dari atmosfer sekitar 12,5 persen.
Reporter:Â Maulana Kautsar
Sumber: Dream.co.id
(Jek)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: