Bau Atmosfer Planet Uranus Mirip Telur Busuk

Dalam penelitian tersebut terungkap, bau busuk pada planet Uranus berasal dari kandungan hidrogen sulfida, yakni gas beracun sejenis belerang yang memiliki karakter bau busuk.

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Apr 2018, 20:00 WIB
Diterbitkan 26 Apr 2018, 20:00 WIB
Setelah Pluto, NASA Luncurkan Misi Ekspedisi Uranus dan Neptunus
NASA dikabarkan tengah mendesai pesawat antariksa yang nantinya akan diluncurkan untuk menjalankan misi ekspedisi planet Uranus dan Neptunus

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah penelitian ilmiah mengungkapkan hal terbaru mengenai Planet Uranus. Penelitian menyebutkan, atmosfer Uranus memiliki bau menyerupai bau telur busuk.

Fakta tersebut diketahui berdasarkan pengamatan spektroskopi sensitif melalui teleskop Gemini North.

Dalam penelitian tersebut terungkap, bau busuk pada Planet Uranus berasal dari kandungan hidrogen sulfida, yakni gas beracun sejenis belerang yang memiliki karakter bau busuk.

Dikutip dari NY Daily News, Kamis (26/4/2018), temuan yang dimuat di jurnal Nature Astronomy itu merupakan hasil penelitian kolaborasi antara ilmuwan dari California Institute of Technology, University of Leicester, dan University of Oxford.

Para peneliti yang terlibat kemudian menganalisis pantulan matahari dari awan. Mereka kemudian menyimpulkan penelitian itu dengan menggunakan Medan Spektrometer Dekat berbasis sinar inframerah (NIFS).

"Kami mampu mendeteksi dengan jelas berkat kepekaan NIFS yang ada pada (teleskop) Gemini," ujar Patrick Irwin, seorang profesor fisika planet dari University of Oxford.

Ketika titik-titik pantul yang diteliti tidak segera mencapai tepian ruang deteksi, peneliti menduga ada ketidakteraturan komposisi gas pada atmosfer Uranus.

Teleskop Gemini North membantu peneliti mengamati ketidakteraturan tersebut, dan kemudian mengalkulasikannya secara kimia guna mengetahui kemungkinan kombinasi gas yang tercipta di lingkup atmosfernya.

Menurut Irwin, kombinasi gas tersebut tersusun atas gas hidrogen, helium, dan metana yang berisiko menaikkan suhu atmosfer Uranus hingga mencapai minus 200 derajat Celcius.

Jika manusia masuk ke kondisi ekstrem tersebut, maka kemungkinan besar akan mengalami gangguan napas, bahkan sebelum mencapai lapisan atmosfer utama Planet Uranus.

Ekspedisi Uranus dan Neptunus Dimulai 2030

Uranus
Penampakan Planet Uranus dengan aurora berwarna putih. (Foto: Mashable)

Setelah Mars, Jupiter, Saturnus, dan Pluto, NASA mulai fokus untuk menyiapkan proyek besar mengekspedisi Planet Uranus dan Neptunus.

Proyek yang sebetulnya sudah direncanakan sejak September 2015 itu baru bisa direalisasikan sekarang.

Bagaimanapun, NASA masih harus menggagas sejumlah inovasi teknologi mumpuni, agar pesawat luar angkasanya bisa terbang ke orbit planet berjuluk "Planet Kekasih" tersebut.

Jadi, jika dihitung-hitung, ekspedisi Uranus dan Neptunus baru bisa dimulai pada 2030. Itu juga baru Uranus. Sementara untuk Neptunus, kemungkinan besar dimulai pada pertengahan 2030 atau setelah 2040.

Menurut informasi yang Tekno Liputan6.com kutip via laman BGR, tujuan utama ekspedisi dilakukan tak lain adalah untuk memantau ekosistem kedua planet.

Tak cuma itu, Badan Antariksa Amerika Serikat tersebut juga ingin mencari tahu material planet terbuat dari apa, serta komposisi atmosfer yang melapisi planet.

Para ilmuwan NASA juga berharap, ekspedisi bisa meneliti iklim planet secara keseluruhan. Jika proses penelitian rampung, barulah mereka dapat menyimpulkan seperti apa bobot kontribusi kedua planet ini terhadap tata surya.

Probe untuk Uranus

Ilustrasi hujan berlian Neptunus dan Uranus
Ilustrasi hujan berlian Neptunus dan Uranus. (Greg Stewart/SLAC National Accelerator Laboratory)

Secara mekanisme, NASA nantinya akan mengirim probe (pesawat kecil) untuk terjun ke dalam atmosfer planet dan mengambil sampel gas yang terkandung di dalamnya. Sama halnya dengan ekspedisi planet lain, probe akan mengirimkan data dari sampel yang diambil ke Bumi untuk diteliti secara mendalam.

Terkait kesiapan wahana ekspedisi, NASA kini tengah melakukan penelitian di Jet Propulsion Laboratory (JPL) untuk merancang pesawat antariksa Uranus dan Neptunus, yang juga akan rampung setidaknya pada 2030.

Salah satu kendala utama pembuatan pesawat antariksa anyar ini adalah besarnya dana penelitian dan pengembangan, yang diprediksi bisa mencapai US$ 2 miliar atau sekitar Rp 28 triliun. 

Dibanding dengan misi-misi NASA sebelumnya, seperti Discovery atau New Frontier, misi ekspedisi Uranus dan Neptunus ini justru memakan biaya yang lebih besar.

"Yang menjadi persoalan besar bagi kami agar dapat menjalankan misi ke Neptunus dan Uranus adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan," kata Jim Green, kepala divisi Planetary Science NASA.

Rencana NASA menerbangkan pesawat antariksa untuk mempelajari secara mendalam Planet Uranus dan Neptunus, sejatinya sudah direncanakan sejak 26 tahun lalu. Namun, hal tersebut baru bisa direalisasikan sekarang. Pasalnya, NASA terbentur banyak masalah dan menantikan dukungan pendanaan besar.

Selain persoalan dana, misi ekspedisi menuju duo planet es tersebut juga terhalang persoalan persediaan Plutonium yang menjadi bahan bakar baku pesawat antariksa.  

"Penerbangan ke Uranus dan Neptunus akan bergantung ke alat baterai nuklir yang akan ditenagai plutonium," jelas Green.

Sampai saat ini, para ilmuwan hanya bisa berspekulasi bahwa Uranus dan Neptunus terdiri dari bebatuan, es, dan ammonia (kumpulan hidrogen dan nitrogen), sehingga kedua planet ini juga kerap mendapat julukan planet es raksasa.

Reporter: Merdeka

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya