Google Bakal Tarik Biaya Perangkat Android yang Rilis di Eropa

Google kini menerapkan biaya lisensi bagi perusahaan yang ingin menggunakan Android dengan aplikasi bawaan untuk wilayah Eropa.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 18 Okt 2018, 17:30 WIB
Diterbitkan 18 Okt 2018, 17:30 WIB
Android
Android Pie. (Foto: Google)

Liputan6.com, Jakarta - Keputusan Uni Eropa untuk mendenda Google direspon cepat oleh perusahaan.

Google akhirnya menerapkan biaya untuk perusahaan smartphone yang ingin menggunakan Android dan memasarkannya di Eropa.

Dikutip dari The Verge, Kamis (18/10/2018), biaya yang ditarik bukan untuk sistem operasi Android, melainkan aplikasi besutan Google yang akan dibenamkan di perangkat.

"Mengingat aplikasi Google Search dan Chrome bersama aplikasi lain membantu kami mengembangkan dan distribusi Android gratis, kini kami memperkenalkan lisensi berbayar baru di perangkat Android untuk Eropa," tutur SVP Android Hiroshi Lockheimer.

Dengan sistem baru ini, Lockheimer juga memastikan bahwa Android sebagai sistem operasi tetap gratis dan terbuka.

Perubahan hanya diterapkan pada produk bawaan Google yang biasanya ada di sistem operasi tersebut.

Jadi, perusahaan yang ingin menyertakan aplikasi atau layanan Google kini harus membayar biaya lisensi lebih dulu ke perusahaan.

Perusahaan mengungkap, akan menarik biaya lisensi untuk layanan seperti Play Store, Gmail, Google Maps, dan YouTube. 

Untuk informasi, sebelumnya layanan Google itu merupakan aplikasi bawaan yang wajib disertakan jika perusahaan ingin memakai Android. 

Namun, setelah Uni Eropa menjatuhkan denda karena dianggap monopoli, Google kini wajib mengubah model bisnis itu. 

Sementara untuk aplikasi Chrome dan Search, dapat masuk dalam bundel lisensi perusahaan. Kendati demikian, kedua aplikasi ini tidak wajib disertakan dalam perangkat Android.

Oleh sebab itu, perusahaan yang tidak mau membayar biaya lisensi tetap dapat menggunakan Android sebagai sistem operasi tanpa aplikasi bawaan Google.

Cara ini mirip dengan pemasaran perangkat Android di Tiongkok--di mana layanan Google diblokir di sana.

Dampak dari aturan baru tersebut, bukan tidak mungkin akan menaikkan harga perangkat Android di Eropa.

Terlebih, Play Store merupakan aplikasi inti yang dibutuhkan untuk mengakses aplikasi Android, sehingga kecil kemungkinan vendor smartphone tidak dapat menyertakannya.

Kena Denda, Google Ancam Android Akan Berbayar

CEO Google Sundar Pichai
CEO Google Sundar Pichai. Liputan6.com/ Jeko Iqbal Reza

Sebelumnya, CEO Google Sundar Pichai juga langsung menanggapi tuntutan tersebut melalui sebuah tulisan di blog perusahaan.

Dalam tulisannya, Pichai menyebut pengguna Android sebenarnya bisa menghapus aplikasi bawaan di perangkatnya.

Selain itu, mereka juga dapat memilih aplikasi untuk diunduh yang dibuktikan dengan data bahwa pengguna biasa memasang 50 aplikasi secara mandiri. 

Namun, jika diminta untuk tidak menyertakan aplikasi bawaan di Android, hal itu dapat mengganggu ekosistem.

"Jika manufaktur dan operator tidak menyertakan aplikasi, itu akan mengganggu ekosistem Android," tuturnya seperti dikutip dari The Verge, Kamis (19/7/2018).

Lebih lanjut dia menuturkan, sistem bundel semacam ini juga menjadi syarat agar Android tetap gratis. Alasannya, Google tidak perlu membebankan biaya pada perusahaan yang ingin menggunakan teknologinya.

"Namun, kami khawatir keputusan ini akan mengganggu keseimbangan yang telah kami lakukan dengan Android, dan dapat menjadi isyarat yang mengganggu dukungan terhadap kepemilikan platfrom terbuka," tulisnya.

Melalui tulisan itu, Pichai juga menyebut bahwa putusan Komisi Eropa ini telah mengabaikan fakta bahwa Android tengah bersaing dengan iOS. Oleh sebab itu, Android hadir untuk menawarkan pilihan.

Gugatan dari Komisi Eropa

Google
Kantor pusat Google di Mountain View. Liputan6.com/Jeko Iqbal Reza

Sekadar informasi, Komisi Eropa menganggap sistem operasi Android merupakan cara ilegal perusahaan untuk mengukuhkan mesin pencari besutannya. 

Karena itu, Komisi Eropa meminta anak perusahaan Alphabet itu mengubah praktik bisnisnya dalam waktu 90 hari. Jika tidak dipenuhi, perusahaan akan mendapat hukuman berupa denda mencapai 5 persen dari rata-rata omset harian global.

Dikutip dari BBC, Kamis (19/7/2018), denda yang harus dibayarkan Google mencapai Rp 72 triliun. Menurut Komisioner Kompetisi Margrethe Vestager, konsumen seharusnya memiliki pilihan dari perangkat yang dibelinya.

Seperti diketahui, sejak beberapa tahun lalu, Google mewajibkan OEM Android untuk menyertakan sejumlah aplikasi besutan perusahaan, mulai dari aplikasi Gmail hingga Google Search. Langkah itu yang kini ditentang oleh Komisi Eropa.

Vestager menilai ada tiga cara ilegal yang dilakukan Google dalam menjalankan bisnis Android. Pertama, manufaktur perangkat Android diharuskan memasang aplikasi Google Search bawaan dan peramban Chrome sebagai syarat mendapatkan akses ke Play Store.

"Google juga membayar sejumlah manufaktur dan operator yang setuju memasang aplikasi Google Search secara eksklusif di perangkatnya," tuturnya.

Tak hanya itu, Google juga dianggap mencegah manufaktur menjual perangkat yang menjalankan versi Android alternatif. Caranya, perangkat mereka diancam tidak mendapatkan izin untuk menggunakan aplikasi Android.

Di sisi lain, Vestager sebenarnya mengetahui bahwa Android tidak melarang pengguna Android mengunduh peramban alternatif atau memakai mesin pencari lain. Namun, hanya ada 1 persen pengguna yang memilih mesin pencari lain, dan 10 persen peramban alternatif.

"Begitu pengguna memilikinya (aplikasi Google Search dan Google Chrome) dan berjalan baik, akan sangat sedikit pengguna yang penasaran untuk mencari aplikasi atau peramban lain," tuturnya menjelaskan.

(Dam/Jek)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya