Bekas Pembalut Wanita, Lebih Baik Dibakar atau Dikubur dalam Islam?

Mengingat pembalut mengandung darah haid, maka statusnya adalah najis. Oleh karena itu, cara membuangnya tidak bisa dilakukan sembarangan, terutama dalam konteks menjaga kebersihan lingkungan dan etika keislaman.

oleh Liputan6.com Diperbarui 08 Apr 2025, 10:30 WIB
Diterbitkan 08 Apr 2025, 10:30 WIB
Ilustrasi tiga wanita mengenakan hijab
ilustrasi wanita (Foto: Freepik.com/freepik)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Pertanyaan tentang bagaimana cara membuang bekas pembalut wanita seringkali menjadi perbincangan yang sensitif di tengah masyarakat. Banyak perempuan yang merasa bingung, apakah sisa pembalut yang telah dipakai harus dibakar atau cukup dikubur saja?

Permasalahan ini tidak hanya menyangkut aspek kebersihan, tetapi juga menyentuh sisi adab dan fiqih dalam ajaran Islam, khususnya dalam hal menjaga kesucian dan menghormati bagian tubuh manusia.

Mengingat pembalut mengandung darah haid, maka statusnya adalah najis. Oleh karena itu, cara membuangnya tidak bisa dilakukan sembarangan, terutama dalam konteks menjaga kebersihan lingkungan dan etika keislaman.

Menjawab pertanyaan tersebut, Liputan6.com menukil dari Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah - KTB (www.piss-ktb.com), sebuah sumber informasi tanya-jawab Islam yang merujuk pada pemahaman ulama salaf Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Metode Pemusnahan Bekas Pembalut

Pembalut
ilustrasi pembalut. (Foto: Pexels/Cliff Booth)... Selengkapnya

Dalam mazhab Syafi'i, disebutkan bahwa segala hal yang mengandung najis harus ditangani dengan penuh kehati-hatian. Bekas pembalut termasuk dalam kategori benda najis yang wajib dijauhkan dari manusia secara layak.

Walaupun tidak ditemukan dalil spesifik dalam kitab-kitab klasik yang menyebut pembalut secara eksplisit, prinsip-prinsip umum dalam fikih tetap dapat digunakan untuk menilai hal ini.

Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami, disebutkan bahwa segala benda najis harus disingkirkan dengan cara yang tidak mengotori lingkungan dan tidak membahayakan orang lain.

Allah SWT sendiri telah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 222:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri."

Ayat ini menjadi landasan umum dalam Islam untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Najis yang ditinggalkan begitu saja dapat mengganggu kesucian dan kesehatan masyarakat.

Dalam kitab I'anah ath-Thalibin (jilid 1, halaman 94), dijelaskan bahwa menghilangkan najis dari tubuh, pakaian, dan tempat adalah kewajiban karena menjadi syarat sahnya sholat.

Dari penjelasan tersebut, para ulama menyimpulkan bahwa bekas pembalut dapat dimusnahkan dengan dua metode utama: dibakar atau dikubur. Keduanya diperbolehkan selama bertujuan untuk menjaga kebersihan dan tidak menimbulkan bahaya.

Namun demikian, ada pendapat dari kalangan ulama yang lebih menganjurkan untuk menguburnya, bukan dibakar. Pendapat ini didasarkan pada hadits yang menyebut perintah Nabi Muhammad SAW untuk mengubur tujuh bagian tubuh manusia.

Hadits tersebut berbunyi:

"وكان صلي الله عليه وسلم يأمر بدفن سبعة أشياء من الإنسان: الشعر والظفر والدم والحِيْضَة والسن والعلقة والمشيمة"

"Bahwasannya Nabi SAW memerintahkan untuk mengubur tujuh perkara dari manusia yaitu: rambut, kuku, darah, pembalut haid, gigi, segumpal darah, dan plasenta (ari-ari).”

(Hadits ini termaktub dalam kitab Muntaha as-Sul karya Abdullah bin Sa'id bin Muhammad al-Lahji asy-Syafi'i)

Kata "الحِيْضَة" dalam hadits tersebut dimaknai sebagai “kain bekas haid” atau yang hari ini bisa dimaknai sebagai pembalut.

Membakar Baik, Lebih Baik Lagi Seperti Ini

Ilustrasi pembalut
Saat menstruasi, area kewanitaan akan rawan iritasi karena terpapar darah menstruasi. (Foto: Pexels/Karolina Grabowska)... Selengkapnya

Berdasarkan hadis ini, mengubur bekas pembalut haid bukan hanya sekadar pilihan, melainkan termasuk sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Meski begitu, kondisi dan lingkungan juga perlu menjadi pertimbangan. Di tempat-tempat tertentu, membakar menjadi cara yang lebih mudah dan aman untuk menjaga kebersihan.

Namun jika memungkinkan, mengubur tetap menjadi pilihan utama karena sesuai dengan praktik sunnah Nabi dan lebih menjaga adab terhadap benda yang berasal dari tubuh manusia.

Proses penguburan ini bisa dilakukan di tempat yang tidak terinjak atau dilalui orang, guna menghormati isi najis yang terkandung di dalam pembalut tersebut.

Prinsip utama dalam Islam adalah tanzih anin najasah—menjauhkan najis dari manusia dan tempat-tempat umum, serta ta'dzim—menghormati ciptaan Allah, termasuk bagian tubuh manusia.

Kesimpulannya, baik membakar maupun mengubur bekas pembalut adalah tindakan yang dibenarkan secara fikih. Namun jika merujuk pada sunnah Nabi, maka mengubur lebih dianjurkan.

Dengan demikian, umat Islam dianjurkan untuk menjaga adab dalam membuang benda najis seperti pembalut, tidak sekadar karena alasan kebersihan, tapi juga karena bentuk ibadah dan kepatuhan terhadap sunnah Rasulullah SAW. Wallahu a’lam.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya