Studi: Kekerasan Verbal Terhadap Wanita Terjadi Setiap 30 Detik di Twitter

Sttudi yang dilakukan organisasi Amnesti Internasional ini telah memeriksa lebih dari 228.000 cuitan kekerasan verbal yang dilayangkan kepada 778 jurnalis dan politisi wanita.

oleh Jeko I. R. diperbarui 20 Des 2018, 12:00 WIB
Diterbitkan 20 Des 2018, 12:00 WIB
Ilustrasi Kekerasan Pada Anak (iStockphoto)
Ilustrasi Kekerasan Pada Anak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah studi terbaru mengungkap jurnalis dan politisi wanita ternyata sering mendapatkan kekerasan verbal setiap 30 detik di Twitter.

Dilansir Geek pada Kamis (20/12/2018), studi yang dilakukan organisasi Amnesti Internasional ini telah memeriksa lebih dari 228.000 cuitan kekerasan verbal yang dilayangkan kepada 778 jurnalis dan politisi wanita di Amerika Serikat (AS) dan Inggris pada 2018.

Studi tersebut juga dibantu oleh teknologi neural network kecerdasan buatan (AI, Artificial Intelligence) untuk mengumpulkan kategori cuitan berisikan kekerasan verbal dan persekusi terhadap pengguna wanita di Twitter. Berikut beberapa temuan survei tersebut.

-1 dari 10 cuitan berisikan kekerasan verbal terhadap wanita berkulit hitam

-Lebih dari 7 persen cuitan kekerasan verbal dikirim ke wanita

-34 persen cuitan kekerasan verbal ditujukan kepada wanita berkulit hitam dan wanita dari etnis minoritas

"Hasil dari cuitan tersebut menandakan kalau Twitter menjadi tempat yang sarat dengan cuitan kebencian, mulai dari rasisme, misogyny (kebencian terhadap wanita), dan juga homofobia," ujar Direktur Amnesty UK, Kate Allen.

 

Twitter Dituduh Gagal Cegah Kekerasan Terhadap Perempuan

Ilustrasi Pelecehan Seksual Anak
Ilustrasi kekerasan pada anak. Sumber: Istimewa

Amnesti Internasional pada Maret 2018 mengklaim Twitter gagal mencegah kekerasan dan pelecehan online terhadap perempuan. Sebaliknya, Twitter justru dinilai menciptakan lingkungan 'beracun' bagi perempuan.

Amnesty dalam sebuah laporan yang dipublikasikan pada Rabu (21/3/2018), mengungkapkan Twitter memberikan respons secara tidak konsisten saat kasus pelecehan disorot, bahkan ketika hal itu melanggar aturannya sendiri. Laporan ini dipublikasikan bertepatan dengan 12 tahun sejak twit pertama Twitter diunggah.

Dikutip dari The Guardian, Jumat (23/3/2018), organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) itu menuduh Twitter gagal menghormati hak-hak perempuan, dengan tidak bisa menginterpretasikan dan menegakkan kebijakannya untuk mencegah konten beracun atau negatif.

Akibatnya, muncul ancaman pembunuhan, pemerkosaan dan rasis, transphobia serta homophobia terhadap perempuan.

Laporan Amnesty juga berisi survei dengan responden 1.100 perempuan Inggris. Hasilnya, hanya 9 persen berpikir Twitter melakukan cukup upaya menghentikan kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.

Sementara 78 persen merasa layanan tersebut bukan tempat untuk menyalurkan pendapat mereka tanpa menerima, misalnya, perkataan kasar.

Direktur Amnesty Inggris, Kate Allen, menegaskan Twitter menjadi sebuah tempat beracun untuk perempuan.

"Selama ini, perempuan di Twitter dengan mudah dihadapkan ancaman kematian atau pemerkosaan, serta gender, etnis dan orientasi mereka diserang," ungkap Allen.

Twitter Harus Tegas

Twitter
Ilustrasi Twitter (iStockPhoto)

Allen menilai orang-orang yang suka menyerang di Twitter berada dalam posisi menguntungkan, karena meski telah berulang kali berjanji, Twitter akhirnya gagal untuk menghentikan mereka.

"Twitter harus mengambil berbagai langkah konkret untuk mengatasi dan mencegah kekerasan dan pelecehan perempuan di platform-nya. Jika tidak, maka klaimnya yang berada di sisi perempuan tidak akan berarti," jelasnya.

Adapun laporan Amnesty ini dibuat berdasarkan wawancara dengan lebih dari 80 perempuan, termasuk politisi, jurnalis dan pengguna biasa di Inggris dan Amerika Serikat (AS).

Publik figur kerap menjadi target penyerangan di Twitter, tapi juga ada pengguna lain yang mengalami pelecehan, terutama jika mereka berbicara soal seksisme atau menggunakan tagar kampanye khusus.

Amnesty juga mendokumentasikan bagaimana perempuan dari etnis atau agama minoritas, Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender dan Intersex (LGBTI), individu non-binary serta disabilitas, kerap menjadi korban pelecehan. Tindakan ini dinilai dapat membuat suara yang sudah terpinggirkan, semakin jauh dari publik.

Twitter Tak Sependapat dengan Amnesty International

Twitter
Ilustrasi Twitter (Foto: Pixabay)

Di sisi lain Twitter menyatakan ketikdasetujuannya dengan temuan Amnesty. Twitter beralasan layanannya tidak bisa menghapus kebencian dan prasangka dari masyarakat.

Kendati demikian, Tiwtter mengklaim telah membuat lebih dari 30 perubahan pada platform-nya dalam 16 bulan terakhir untuk membuat keamanan menjadi lebih baik, termasuk bergerak lebih cepat untuk menangani twit yang dinilai melecehkan.

(Jek/Ysl)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya