Liputan6.com, Jakarta - Sebuah perusahaan baru di bawah Alphabet akan menggunakan artificial intelligence (AI) untuk menemukan obat-obatan.
Informasi ini diungkapkan oleh induk perusahaan Google dalam pernyataan. Mengutip The Verge, Jumat (5/11/2021), tugas tersebut akan dibantu oleh DeepMind. DeepMind adalah anak perusahaan Alphabet lainnya yang berfokus melakukan berbagai hal inovatif berbekal AI.
Advertisement
Baca Juga
Tujuannya kali ini adalah menggunakan artificial intelligence (AI) untuk memprediksi struktur protein sehingga menemukan obat-obatan baru.
Perusahaan baru bernama Isomorphic Laboratories ini akan memanfaatkan kesuksesan AI Google untuk membantu mengidentifikasi obat-obatan jenis baru.
Perusahaan Isomorphic Laboratories ini akan dipimpin oleh CEO DeepMind, yakni Demis Hassabis. Kendati demikian, kedua perusahaan memiliki manajemen berbeda sembari tetap berkolaborasi sesekali.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Dukungan AI
Sekadar informasi, selama bertahun-tahun, para ahli menggunakan AI sebagia cara untuk membuat dan menemukan obat berbagai penyakit dengan lebih cepat dan mudah.
Kecerdasan buatan dalam hal ini dapat membantu memindai melalui database molekul potensial untuk menemukan informasi yang paling sesuai dengan target biologis tertentu. Misalnya untuk menyempurnakan senyawa obat yang diusulkan.
Isomorphic akan mencoba membangun model yang dapat memprediksi bagaimana obat bisa berinteraksi dengan tubuh.
Advertisement
Kolaborasi dengan DeepMind
"Dalam pekerjaannya, Isomorphic bisa memanfaatkan pekerjaan DeepMind pada struktur protein untuk mengetahui seberapa banyak protein bisa berinteraksi satu sama lain," kata Hassabis.
Ia menambahkan, perusahaan ini mungkin tidak akan mengembangkan obatnya sendiri, melainkan akan menjual modelnya.
Isomorphic akan berfokus pada pengembangan kemitraan dengan perusahaan farmasi.
Dikatakan, mengembangkan obat mungkin tidak selalu berhasil untuk diberikan pada manusia atau pun hewan. Lebih dari 90 persen obat yang berhasil mencapai uji klinis akhirnya tidak bekerja seperti yang dimaksudkan oleh para ahli.
(Tin/Isk)