Liputan6.com, Jakarta - Sebuah laporan terbaru dari perusahaan keamanan siber Kaspersky mencatat bahwa kekerasan digital melalui stalkerware mengalami sedikit penurunan pada tahun 2022.
Dalam The State of Stalkerware, Kaspersky menyebut di 2022, terdapat 29.312 individu unik di seluruh dunia yang terpengaruh oleh bentuk penguntitan digital ini.
Baca Juga
Pengertian stalkerware sendiri adalah perangkat lunak yang tersedia secara komersial, yang dapat diinstal secara terpisah pada perangkat smartphone.
Advertisement
Ini memungkinkan pelaku mengawasi setiap langkah kehidupan pribadi seseorang tanpa sepengetahuan mereka. Karena pelaku membutuhkan akses fisik (dan kode) ke suatu perangkat, stalkerware kerap digunakan dalam hubungan yang kasar.
Dalam siaran persnya, Selasa (21/3/2023), angka tersebut adalah penurunan, jika dibandingkan dengan 32.694 pengguna yang terpengaruh pada tahun 2021.
Kaspersky menyebut, usai tren penurunan yang berkelanjutan di tahun-tahun sebelum 2021, stabilitas relatif ini menyoroti skala penguntitan global, dan menunjukkan masalah ini tidak akan hilang dengan sendirinya.
Kaspersky Security Network melaporkan, pada 2022: Rusia, Brasil, India, Iran, dan Amerika Serikat, menjadi lima negara teratas yang paling terpengaruh oleh stalkerware.
Rusia sendiri mencatat jumlah pengguna terdampak stalkerware dengan 8.281, diikuti Brasil (4.969), India (1.807), Iran (1.754), dan AS (1.295).
Menurut Kaspersky, negara-negara ini diikuti oleh Turki (755), Jerman (736), Arab Saudi (612), Yaman (527) dan terakhir, Meksiko (474) dalam daftar sepuluh negara yang paling terkena dampak stalkerware.
Sementara itu, menurut Kaspersky, Indonesia berada di peringkat ke-19 dengan 269 pengguna terdampak oleh stalkerware di tahun 2022.
Penguntitan Digital Masih Jadi Fenomena Global
Secara keseluruhan, Kaspersky mendeteksi kasus stalkerware di 176 negara di seluruh dunia. Menurut mereka, ini membuktikan bahwa penguntitan digital masih menjadi fenomena global yang mempengaruhi semua negara.
Meski data yang dikumpulkan Kaspersky dianonimkan, namun penelitian lainnya menunjukkan, sebagian besar yang terpengaruh oleh bentuk kekerasan digital ini adalah perempuan.
Dr Leonie Maria Tanczer, Associate Professor di University College London (UCL) dan kepala Gender and Tech Research Group UCL megatakan, sangat penting untuk memiliki data mengenai stalkerware.
"Meskipun laporan tersebut hanya menawarkan wawasan tentang pengguna seluler yang menggunakan solusi keamanan TI Kaspersky, kami dapat memproyeksikanbahwa tingkat penggunaan stalkerware jauh lebih besar," imbuhnya.
Menurut Tanczer, angka-angka ini memang mengkhawatirkan. Di sisi lain, laporan ini juga berguna sebagai panduan dalam memberikan insentif bagi penelitian, industri, dan praktik.
Ini berguna untuk mempercepat pengembangan strategi mitigasi hukum dan teknis yang tidak hanya meningkatkan deteksi tetapi juga penyebaran perangkat lunak pengawasan.
Advertisement
Cyberstalking Berdampak pada Kehidupan Nyata
Elena Gajotto, wakil presiden dan manajer proyek di Una Casa per l'Uomo setuju bahwa cyberstalking atau penguntitan siber, memiliki dampak nyata pada kehidupan nyata mereka yang mengalaminya.
"Ada efek psikologis, fisik, dan sosial jangka menengah hingga panjang yang kita lihat setiap hari di pusat-pusat anti-violence kita," kata Gajotto.
Ia menyebut, cyberstalking mencakup berbagai jenis perilaku seperti perpesanan terus-menerus, memantau aktivitas korban, atau bentuk pengejaran online lainnya.
Selain itu, seperti yang dinyatakan oleh penelitian yang sama, "mungkin cyberstalking hanyalah alat tambahan dalam perangkat penguntit."
Christina Jankowski, Senior External Relations Manager di Kaspersky menambahkan, ribuan orang menjadi korban dari stalkerware setiap tahunnya.
Upaya Kaspersky Mengatasi Stalkerware
"Mengingat kaitannya yang jelas dengan kekerasan, ini adalah tren yang mengkhawatirkan, oleh karena itu kami bekerja di ujung spektrum yang berbeda untuk mengatasi masalah ini," kata Jankowski.
Menurutnya, Kaspersky telah memperbarui Peringatan Privasi kepada pengguna, apabila stalkerware ditemukan di perangkat mereka. Sehingga, pengguna akan diberitahu jika pelaku akan mengetahui apabila perangkat lunak tersebut dihapus.
"Alasan di balik ini sederhana: jika perangkat lunak dihapus, bukti bahwa stalkerware telah diinstal, dan jika pelaku kehilangan kendali atas perangkat, situasinya mungkin meningkat," kata Jankowski.
"Misi kami adalah untuk memastikan bahwa para korban memahami tindakan terbaik untuk memberikan hasil yang paling aman, dan membalikkan tren terhadap bentuk kekerasan digital ini, pungkasnya.
(Dio/Isk)
Advertisement