Liputan6.com, Jakarta - Setelah kehilangan waktu belajar karena pandemi, banyak siswa merasa tidak siap untuk kembali ke sekolah. Laporan McGraw Hill menunjukkan 21 persen mahasiswa merasa tidak siap untuk melanjutkan studi mereka di perguruan tinggi. Jumlah ini meningkat 11 persen dari tahun sebelumnya.
Menurut Edscoop, dikutip Rabu (1/11/2023), tren ini mengubah cara siswa mencari dukungan pembelajaran, dengan 80 persen siswa menggunakan ChatGPT dan media sosial seperti TikTok atau YouTube.
Baca Juga
Namun, Justin Singh, kepala transformasi dan strategi McGraw Hill, menekankan bahwa masalah utamanya adalah penggunaan media sosial yang berlebihan untuk pembelajaran, hingga lebih dari lima jam dihabiskan di platform tersebut setiap minggunya.
Advertisement
Menurut laporan tersebut, meskipun sumber online seperti ChatGPT sangat disukai oleh siswa, sebagian besar guru dan siswa tidak benar-benar percaya pada tanggapan kecerdasan buatan (AI).
Kendati tidak percaya AI, sebanyak 46 persen profesor dan 39 persen mahasiswa menyatakan kepercayaan dapat ditingkatkan jika alat tersebut dikembangkan dan diperiksa oleh sumber akademis terpercaya.
Ketidakpastian ini juga mempengaruhi kesehatan mental siswa yang 56 persen dari mereka mengaku stres, dan 58 persen mengatakan kewalahan.
Profesor menyadari masalah ini, dan 90 persen mahasiswa setuju bahwa kesehatan mental adalah kunci keberhasilan mahasiswa. Beberapa bahkan mempertimbangkan untuk meninggalkan kuliah.
Meskipun banyak kampus telah menanggapi dengan membuka klinik di dalam kampus, akses ke layanan kesehatan mental tetap sulit, terutama karena pendidikan online semakin populer.
Survei yang dilakukan oleh McGraw Hill untuk memahami dampak pandemi menekankan betapa pentingnya menanggapi perubahan preferensi siswa dengan menggunakan teknologi menarik seperti ChatGPT dan media sosial sambil mempertahankan keakuratan dan kepercayaan.
Robot AI Jadi Asisten Kepala Sekolah di Inggris
Beralih ke sisi terang AI di dunia akademis, seorang kepala sekolah Cottesmore di Oakham Inggris, Tom Rogerson, mengungkapkan bahwa dia telah menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mendapatkan nasihat dalam mengelola sekolahnya.
Melalui wawancara dengan The Telegraph, Rogerson menjelaskan bahwa AI ini, yang disebut 'Abigail Bailey', membantunya dalam berbagai aspek, mulai dari dukungan staf hingga penanganan masalah siswa dengan ADHD serta penyusunan kebijakan sekolah.
Abigail Bailey nama Robot AI ini beroperasi dengan cara yang mirip dengan Chat GPT, layanan AI online yang memungkinkan pengguna untuk mengajukan pertanyaan dan menerima jawaban dari algoritma chatbot.
Menurut Rogerson, prinsip AI telah dikembangkan dengan pengetahuan dalam bidang pembelajaran mesin dan manajemen pendidikan, termasuk kemampuan untuk menganalisis data dalam jumlah besar. Berikut selengkapnya Liputan6.com merangkum kisah kepala sekolah punya asisten AI, Rabu (18/10/2023).
Sekolah Cottesmore, yang telah menerima berbagai penghargaan, termasuk "Sekolah Persiapan Tahun Ini" dari Tatler, adalah lembaga asrama yang melayani anak laki-laki dan perempuan berusia antara empat dan 13 tahun.
"Terkadang memiliki seseorang atau sesuatu untuk membantu Anda adalah pengaruh yang sangat menenangkan. Senang rasanya memikirkan seseorang yang sangat terlatih siap membantu Anda mengambil keputusan,” ungkap Rogerson menjelaskan manfaat Robot AI.
Rogerson menekankan bahwa meskipun ide ini mungkin terdengar futuristik, Abigail Bailey telah terbukti efektif dalam memberikan saran mengenai berbagai masalah, termasuk bagaimana mendukung staf sekolah, penyusunan kebijakan sekolah, dan bahkan membantu siswa yang menderita ADHD.
Advertisement
Chatbot AI Untuk Anak, Bahaya atau Aman?
Tak hanya orang dewasa dan mahasiswa, kinin sejumlah platform untuk anak pun juga sudah memakai teknologi AI semacam ini.
Noura Afaneh, Analis Konten Web di Kaspersky mengatakan, anak-anak merupakan bagian penting yang sayangnya tidak dipertimbangkan dalam euforia teknologi AI.
Menurutnya, anak-anak dari segala usia di seluruh dunia mendapatkan akses untuk menggunakan alat-alat AI dan banyak di antaranya hanya memerlukan sedikit atau tanpa persetujuan sama sekali.
Melalui siaran persnya, Noura mengatakan bahwa keberadaan chatbot AI saat ini memudahkan seseorang untuk menavigasi informasi, tanpa harus membuka banyak tab dan membaca banyak artikel.
"Jika menyangkut anak-anak, hal ini sangat penting untuk memenuhi rasa ingin tahu mereka, dan sekaligus dapat membuat pembelajaran menjadi lebih interaktif dan menarik," kata Noura, dikutip Jumat (20/10/2023).
Selain itu, chatbot AI juga bisa menyediakan platform yang dapat diakses dan memungkinkan anak-anak untuk melatih keterampilan bahasa mereka, serta berdiskusi secara bebas tanpa batas waktu
Meski terdapat banyak manfaat besar dari beragam alat yang tersedia, tetap ada risiko penggunaan AI di kelompok anak-anak, misalnya seperti hilangnya privasi data, ancaman dunia maya, serta konten yang tidak pantas untuk mereka.
Noura mencontohkan, chatbot AI paling populer saat ini, ChatGPT, tidak memiliki verifikasi usia yang tepat, sehingga dinilai memiliki risiko terhadap privasi data anak-anak.
ChatGPT juga dinilai dapat menyediakan konten yang sering kali tidak akurat dan keliru dengan cara yang meyakinkan. Sebagai contoh, ada siswa yang memakai chatbot ini sebagai alat plagiarisme dan menemukan berbagai referensi palsu untuk artikel yang tidak ada.
Risiko Kehadiran Teman AI
Dalam kasus lebih berbahaya, pada awal kehebohan ChatGPT, gadis-gadis remaja bertanya kepada AI tentang rencana diet dan informasi medis yang langsung dijawab oleh chatbot dengan rencana dan saran tanpa mengacu pada data medis aktual.
Kasus lainnya adalah chatbot MyAI Snapchat, di mana pengguna berusia 13 tahun diperbolehkan menggunakannya tanpa perlu izin dari orangtua. Ini menimbulkan pertanyaan tentang privasi anak-anak dan penyimpanan data mereka oleh aplikasi.
Noura mengatakan, risiko dari teman AI semacam ini adalah anak-anak sering kali percaya bahwa mereka adalah teman nyata, dan bertindak berdasarkan saran mereka.
Padahal, Snapchat sendiri mengakui bahwa AI tersebut "mungkin berisi konten yang bias, tidak benar, berbahaya, atau menyesatkan."
"Hal ini sangat berisiko, karena remaja mungkin merasa lebih nyaman membagikan informasi pribadi dan detail pribadi tentang kehidupan mereka kepada chatbot, dibandingkan kepada orang tua yang dapat membantu mereka," ujarnya.
Advertisement