Liputan6.com, Jakarta - Akamai Technologies memprediksi perkembangan komputasi awan (cloud) dan ancaman siber (termasuk ransomware) yang semakin canggih akan menjadi tren teknologi yang mewarnai dunia bisnis pada 2024.
Direktur Teknologi Komputasi Cloud Akamai Technologies, Jay Jenkins, mengungkapkan pemicu pertama perkembangan cloud adalah karena upaya perusahaan melakukan penyesuaian pengeluaran terhadap sistem cloud, mereka melihat saat ini banyak perusahaan kian tertarik pada strategi multi-cloud dan hybrid cloud.
Baca Juga
Ia menilai tren ini akan berlanjut hingga 2024. Penerapan multi-cloud dan hybrid cloud bakal menciptakan arsitektur sistem yang terdistribusi. Pada saat yang sama, sejumlah perusahaan berupaya meningkatkan efektivitas dan keandalan aplikasi yang mereka kembangkan.
Advertisement
“Ketika pendekatan ini semakin matang, fokus perhatian tidak lagi pada mengoptimalkan biaya namun juga pada perjalanan menuju peningkatan ketangkasan teknis dan operasional guna memaksimalkan potensi dari arsitektur terdistribusi,” ujar Jenkins melalui keterangannya, Selasa (2/1/2024).
Peralihan ke komputasi terdistribusi hanyalah permulaan. Kunci keberhasilannya, kata Jenkins, akan bergantung pada penerapan database terdistribusi secara luas, yang seharusnya memberikan landasan bagi para pengembang untuk menciptakan model-model arsitektur yang inovatif.
"Revolusi cloud tidak hanya berbicara tentang penerapan, namun juga kombinasi optimalisasi dan evolusi arsitektur," ia menambahkan.
Tren kedua adalah terjadinya peningkatan kinerja aplikasi perusahaan yang berujung pada adanya tuntutan peningkatan kinerja komputasi.
Peningkatan kinerja aplikasi adalah tantangan berat bagi perusahaan, sebab konsekuensinya adalah terhadap pengalaman pengguna. Jika pengalaman pengguna di bawah standar, hal ini akan berdampak buruk bagi perusahaan.
“Konsumen modern selalu mengharapkan, dan dalam kondisi tertentu menuntut, interaksi aplikasi yang lancar dan responsif. Kelambatan apa pun yang terjadi pada kinerja aplikasi dapat menyebabkan ketidakpuasan dan penurunan kepercayaan terhadap merek,” Jenkins menguraikan.
Tren Ketiga
Tantangan ini diperkirakan bakal meningkat pada tahun 2024, seiring dengan semakin berkembangnya penerapan perangkat yang saling terhubung oleh berbagai perusahaan, yang semuanya akan bergantung pada pertukaran data secara real-time di seluruh sistem terdistribusi.
Penerapan sistem ini memberikan pengalaman pengguna yang memuaskan, sehingga memastikan pentingnya komunikasi antar mesin yang andal dan efisien.
Tren ketiga adalah tumbuhnya kebutuhan akan sumber daya manusia yang terampil di bidang teknologi cloud, pengembangan software, dan administrasi sistem di tahun depan.
Hal ini dipicu oleh transisi ke infrastruktur dan layanan cloud, pengeluaran yang meningkat, dan risiko kenaikan biaya dan gangguan operasional lantaran tingginya biaya komputasi, kekhawatiran terhadap vendor lock-in serta ketergantungan pada penyedia cloud tertentu.
“Selain membutuhkan tenaga kerja yang terampil, perusahaan-perusahaan juga perlu mempertahankan tenaga kerja terampil yang mampu mengelola dan mengoptimalkan aplikasi mereka secara efektif agar memberikan kinerja terbaik sekaligus mempertahankan struktur biaya yang kompetitif,” papar Jenkins.
Advertisement
Bahaya Ancaman Ransomware
Di sisi lain, tahun 2024 juga bakal diwarnai oleh bahaya ancaman siber yang semakin canggih. Salah satunya adalah munculnya ransomware yang didukung oleh kecerdasan buatan (AI).
Serangan ransomware pada 2024 diprediksi akan berlangsung tanpa henti dan dapat sangat memengaruhi banyak organisasi yang belum sempat melakukan persiapan.
“Sebagian besar dari serangan ini melibatkan serangkaian taktik dan teknik yang dikenal sebagai model rantai mematikan (kill chain). Selain itu, para penyerang memanfaatkan AI untuk melakukan serangan melalui program seperti FraudGPT dan WormGPT,” kata Rueben Koh selaku Direktur Teknologi dan Strategi Keamanan, Akamai Technologies.
Menurut Koh, dengan AI para penjahat siber bisa memanfaatkan taktik seperti mengotomatisasi tugas-tugas sulit dalam menentukan prioritas target dan bisa dengan mudah menghindari pertahanan, sehingga bisa mengembangkan senjata ransomware baru.
AI juga membuat penjahat siber mampu meningkatkan enkripsi ransomware, sehingga menjadikannya lebih sulit di-dekripsi dan direkayasa balik berkat algoritma enkripsi yang dioptimalkan.
Selain itu, ransomware yang dipandu oleh chatbot AI akan membuat serangan terhadap korban lebih skalabel dan efisien.
“Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan harus memperkuat ketahanan siber dengan visibilitas yang menyeluruh, dan menerapkan akses zero trust dan segmentasi melalui verifikasi yang cermat terhadap semua akses aplikasi,” ucap Koh menyarankan.
Perlunya Literasi AI
Senada, Dr. Robert Blumofe selaku Executive VP dan CTO di Akamai Technologies, menekankan perlunya literasi AI di kawasan Asia Pasifik. Untuk menjaga kepercayaan dan memerangi misinformasi, organisasi harus berinvestasi dalam literasi AI.
Serangan rekayasa sosial diperkirakan akan mendominasi pada tahun 2024, didorong oleh otomatisasi AI dan kemampuan AI generatif untuk menciptakan kepalsuan yang meyakinkan.
Untuk melindungi aset penting, perusahaan harus mengadopsi arsitektur zero trust, termasuk mikrosegmentasi.
Blumofe menyarankan perusahaan untuk fokus pada dasar-dasar keamanan seperti identitas, visibilitas, akses tanpa kepercayaan, dan segmentasi mikro daripada hanya mengandalkan solusi generatif berbasis AI.
“Meskipun AI akan selalu berperan dalam keamanan, organisasi harus memprioritaskan aspek-aspek keamanan yang mendasar ketimbang AI generatif. Berfokus pada identitas, visibilitas, akses zero-trust, dan micro-segmentation adalah cara-cara terbaik untuk melindungi dari ancaman yang diketahui dan tidak diketahui,” ujarnya menjelaskan.
Advertisement
Pentingnya Menjaga Informasi Identifikasi Pribadi
Sementara Dean Houari selaku Direktur Teknologi dan Strategi Keamanan di Akamai Technologies, mengatakan pada tahun 2024, keamanan siber pada akhirnya akan menjadi prioritas strategis bagi perusahaan-perusahaan dan tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab orang-orang di divisi IT.
Ia menekankan keamanan siber akan berkembang dari bersifat reaktif menjadi pendekatan yang lebih ofensif.
“Seiring peralihan dunia usaha ke penggunaan platform multi-cloud dan aplikasi cloud-native secara luas, permukaan serangan API juga turut meluas dan lebih rentan terhadap eksploitasi. Komputasi edge mungkin menjadi ‘medan pertempuran’ yang potensial, karena rentan terhadap serangan gencar terhadap otak aplikasi yang menjalankan operasional bisnis,” kata Houari.
Lebih lanjut, dia mengatakan, institusi-institusi di sektor publik akan mulai menyadari pentingnya menjaga Informasi Identifikasi Pribadi (PII), dan akan semakin mengadopsi arsitektur zero trust untuk meminimalkan kebocoran data.
Perusahaan-perusahaan juga harus berfokus pada pengamanan rantai pasokan guna menggagalkan penyerang yang mencoba mengeksploitasi koneksi tepercaya dari vendor pihak ketiga dan melanggar perimeter keamanan mereka.
Misalnya, ketika industri layanan kesehatan memperluas penggunaan perangkat medis yang terhubung dengan jaringan seperti mesin MRI, pompa insulin, dan wearable, di tahun depan, API akan terus memainkan peran penting dalam aksesibilitas layanan medis, seperti telehealth dan pemantauan pasien dari jarak jauh.
Akibatnya, akan muncul berbagai kerentanan yang dapat dieskploitasi oleh penyerang untuk mendapatkan riwayat kesehatan dan data pasien yang bernilai tinggi di dark web.
Lalu, phishing tools, yang dilengkapi dengan kecanggihan AI generatif, akan menciptakan lebih banyak deepfake dengan cara yang lebih mudah. Hal ini pun meningkatkan serangan rekayasa sosial (social engineering) ke level yang luar biasa baru pada tahun depan.
“Sejumlah perusahaan tidak saja harus mengantisipasi ancaman yang terus berkembang, namun juga secara berkala mengukur tingkat keamanan mereka secara menyeluruh serta tingkat risiko mereka dalam mengimbangi ancaman siber yang terus berubah,” kata Houari memungkaskan.