Liputan6.com, Flores - Musim kemarau yang panjang membuat para petani merana. Tidak tahu harus berbuat apa, sebagian petani terpaksa mengairi sawahnya dengan air limbah.
Sebagian bahkan memilih menjual bongkahan tanah sawah dan menjual padi yang gagal panen untuk pakan ternak. Semua dilakukan demi untuk meyambung hidup.
Seperti ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, Sabtu (1/8/2015), sejauh mata memandang, hanya sawah kering yang terlihat di sebagian besar daratan Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Setetes air pun tidak terlihat mengairi sawah-sawah para petani. Semua terbengkalai begitu saja.
Advertisement
Sejumlah petani memilih menanam sayur mayur. Dengan bantuan pompa seadanya, Markus Yohanes dan istrinya ini menggantungkan hidup dari penjualan sayur yang tidak seberapa.
Padahal untuk menyalakan mesin pompa, dibutuhkan biaya membeli solar dan oli sebesar Rp 200 ribu. Namun Markus tak ada pilihan lain.
Nasib serupa dialami para petani di Grobogan, Jawa Tengah. Tanah yang kering otomatis tidak bisa ditanami padi. Demi bertahan hidup mereka terpaksa mencongkeli tanah sawahnya yang kering untuk dijual sebagai tanah uruk.
Bongkahan tanah sawah dijual Rp 80 ribu per satu truk engkel. Maksimal, petani hanya bisa bekerja selama 2 pekan karena hanya lapisan atas saja yang bisa dijual. Setelah itu mereka akan kembali menganggur tanpa penghasilan.
Gagal panen juga dialami para petani di Pemalang, Jawa Tengah. Setidaknya 2.500 hektare lahan sawah terbengkalai di daerah yang menjadi salah satu lumbung beras nasional ini.
Sawah pun dibiarkan penuh dengan rumput liar yang akhirnya dimanfaatkan para pencari rumput untuk ternak.
Musim kemarau tahun ini diperkirakan lebih panjang. BMKG memperkirakan kemarau bisa terjadi sampai November. (Nda/Mvi)