Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah dan DPR sepakat untuk menaikkan tarif listrik untuk enam golongan pelanggan rumah tangga dan industri mulai 1 Juli 2014.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa mengapresiasi keputusan yang diambil pemerintah tersebut. Namun menurutnya kebijakan tersebut hanya untuk menutupi lonjakan biaya produksi listrik akibat meningkatnya pembelian bahan bakar minyak (BBM) demi mengatasi krisis listrik di Sumatra.Â
Baca Juga
Hal ini terbukti dari membengkaknya alokasi biaya subsidi dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014, padahal tarif listrik sudah dinaikkan. Pemerintah dan DPR telah menyepakati kenaikan subsidi listrik menjadi Rp 103,82 triliun, dari sebelumnya Rp 71,36 triliun.
Advertisement
"Ini positif untuk tekan subsidi tapi belum efektif menurunkan secara masif," kata Fabby saat berbincang dengan Liputan6.com, Senin(16/6/2014).
Usai menaikkan tarif listrik, Fabby menilai pemerintah dan PT PLN (Persero) masih memiliki tugas yaitu mengendalikan biaya produksi listrik. Salah satunya yaitu dengan menekan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dan beralih ke energi berbahan bakar murah.
"Karena saya lihat untuk industri sudah tidak mungkin naik lagi. Dengan beban yang ditanggung industri, apapun bisnisnya pasti akan terganggu. Kalau mereka kolaps ini bisa ganggu ekonomi," tutur dia.
Pekerjaan rumah kedua yaitu menaiikan tarif PR kedua yaitu menaikkan tarif listrik untuk pelanggan rumah tangga 450 voltampere (VA)-900 VA. Menurut dia, kenaikan tarif di golongan pelanggan ini bisa menghemat subsidi lebih besar.
"Kalau dinaikkan dengan mempertahankan subsidi misalnya 40 persen-50 persen itu mungkin bisa hemat subsidi Rp 30 triliun. Tapi di sini tentu dibutuhkan keberanian pemerintah," tegasnya. (Ndw)