Liputan6.com, Jakarta -
Ekonom Standard Chartered Bank, Eric Sugandhi menyatakan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang saat ini menyentuh level Rp 12.700 sudah tidak wajar. Pemicu kondisi ini karena faktor fundamental dan kepanikan pasar.Â
Â
"Depresiasi rupiah Rp 12.700 per dolar AS itu sudah kelewatan. Ada beberapa faktor yang menjadi masalah, sifatnya fundamental dan psikologis karena pasar panik," ujar dia di Jakarta, Rabu (17/12/2014).Â
Â
Lebih jauh Eric menilai, pasokan likuiditas dari dolar AS kurang banyak dan penyebarannya kurang merata. Dalam catatannya, valas masih didominasi masuk ke-15 bank-bank besar dunia, sementara bank kecil sulit mendapatkannya.Â
Â
"Ke-15 bank besar tersebut tentu nggak mau jual dolar AS dengan harga murah, apalagi ada permintaan tinggi dari korporasi menjelang akhir tahun," ungkap dia.Â
Â
Menurut dia, kepemilikan asing di Surat Utang Berharga Negara (SBN) sudah mencapai 38 persen pada posisi 15 Desember ini. Sehingga menyebabkan yield mengalami kenaikan dan cenderung memicu kepanikan.Â
Â
"Akibatnya rupiah tertekan, tapi menurut saya harusnya nggak selemah sekarang karena sudah ada upaya menyehatkan fiskal dengan kenaikan harga BBM subsidi," papar Eric.Â
Â
Dia menambahkan, pemerintah harus fokus pada efektifitas belanja negara, bukan saja penyerapan anggaran. Selain itu, mengurangi rasio utang melalui reformasi anggaran dari non produktif ke produktif.Â
Â
"Kita kayak kejar setoran mengejar penurunan defisit anggaran di bawah target sehingga hanya angka penyerapan anggaran yang dilihat tanpa ada upaya menggenjot pengeluaran. Jadi spending harus efektif," pungkas Eric. (Fik/Nrm)