Liputan6.com, Makassar - Untuk menjalankan sebuah terobosan, ternyata juga harus dibarengi dengan keberanian menghadapi cemoohan yang muncul.
Terlebih lagi, terobosan yang dianggap mustahil oleh masyarakat sekitar untuk diwujudkan. Namun kegigihan dan kesabaran, segala cemoohan yang dihadapi akan hilang seiring berjalannya waktu dan berganti menjadi pujian serta kekaguman.
Hal inilah yang ditunjukkan oleh seorang wanita bernama Sitti Rahmah berusia 43 tahun yang tinggal di Dusun Bontosunggu, Desa Pitusunggu, Kecamatan Ma'rang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, sekitar 2 jam perjalanan darat dari Kota Makassar.
Baca Juga
Nama Sitti Rahmah atau yang akrab disapa dengan Rahmah memang tidak banyak dikenal orang. Namun keberhasilannya membuat terobosan di sektor pertanian di dusun Bontosunggu membuat namanya kini mulai dikenal orang lain, bahkan hingga keluar pulau Sulawesi.
Advertisement
Rahmah merupakan seorang guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang hidup sederhana dengan penghasilan yang pas-pasan. Suaminya, Muh Arif S, seorang petani dan juga penambak udang di lahan milik orang tuanya.
Demam tambak udang yang ada Dusun Bontosunggu membuat masyarakat dusun beramai-ramai mengubah lahan pertanian yang mayoritas tanaman padi menjadi tambak udang windu. Alasannya, harga jual udang yang mencapai Rp 120 ribu per kg kala itu lebih menguntungkan dibandingkan dengan menanam padi.
Namun dalam 5 tahun, masalah mulai bermunculan, salah satunya timbulnya penyakit pada udang di tambak miliki warga dusun sehingga membuat harga jual udang pun kian anjlok hingga hanya dihargai Rp 30 ribu-Rp 40 ribu per kg.
Dengan harga jual seperti ini, warga dusun banyak yang tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari, bahkan untuk kebutuhan beras karena lahan-lahan pertanian yang ada telah diubah menjadi tambak udang.
Melihat hal ini, Rahmah tergerak untuk turut serta memperbaiki sektor pertanian di dusunnya. Langkah pertama yang dilakukan oleh Rahmah dan suaminya yaitu membuka lahan tidur yang terbengkalai selama 20 tahun di belakang rumahnya.
Saat ide ini mulai dilakukan, banyak masyarakat yang mencemooh Rahmah. Pasalnya masyarakat menganggap membangun pertanian di lahan tidur yang sudah sangat lama tidak digarap adalah hal sia-sia. Namun hal ini tidak menciutkan nyali wanita kelahiran 4 Januari 1972 ini.
"Awalnya dicemooh, banyak yang mengatakan mana mungkin padi bisa tumbuh. Tapi setelah 1 bulan, benih ada itu sudah tumbuh tanaman padi," ujar Rahmah di Desa Pitusunggu, Kecamatan Ma'rang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, seperti ditulis Selasa (10/3/2015).
Keberanian Rahmah untuk mulai membuka lahan tidur ini juga bukan tanpa perbekalan. Pada 2010, sebuah lembaga internasional bernama Oxfam yang merupakan konfederasi dari 17 organisasi dan telah memiliki perwakilan di 94 negara termasuk Indonesia membuat proyek peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dengan nama Restoring Coastal Livelihood (RCL).
Setelah mendapatkan pembekalan ilmu soal pertanian dari proyek ini, Rahmah pun mulai membentuk kelompok wanita untuk bersama-sama mengembangkan lahan tidur tersebut pada 2011. Kelompok ini bernama Pita Aksi dan kini berjumlah 25 orang. Nama Pita Aksi diambil dari nama desanya, yaitu Pitusungguh Beraksi.
Â
Sempat Ditolak Warga
Sempat Ditolak Warga
Rahmah bercerita, dalam pembentukan kelompok ini pun dirinya kerap mengalami kesulitan. Pasalnya, tidak jarang kaum ibu yang dia ajak untuk bergabung dalam kelompok, mendapatkan larangan dari suami masing-masing.
"Pada 2011 bentuk kelompok Pita Aksi, anggotanya 25 orang. Awalnya 17 orang. Saya ajak ibu-ibu, ajaknya juga susah karena suami-suaminya bilang ibu-ibu di rumah saja. Tapi saya rayu-rayu untuk tambah-tambah pendapatan juga bisa dapat sayuran," kata dia.
Namun karena dengan keyakinan yang kuat, Rahmah pun akhirnya berhasil mengajak ibu-ibu untuk masuk ke dalam kelompok dan memulai pembelajaran selalui program Sekolah Lapang (SL) sayuran dan padi.
Rahmah bersama kelompok memulai dengan menanam benih sayuran seperti bayam, kangkung, sawi hijau, selada, cabai dan tomat. Hasilnya pun cukup menggembirakan. Jika sebelumnya para ibu di dalam kelompok harus membeli sayuran seharga Rp 5 ribu-Rp 10 ribu per hari. Kini kebutuhan sayurannya dalam dipenuhi dari hasil budidaya sendiri.
"Hasilnya bisa dikonsumsi atau dibagi-bagikan ke yang belum menanam," lanjutnya.
Selain sayuran, kelompok ini juga mengembangkan penanaman padi di lahan yang sebelumnya hanya menjadi lahan tidur tersebut. Saat ini ada sekitar 8 hektar (ha) lahan yang dijadikan sawah untuk bercocok tanam.
Padi dan sayuran yang ditanam di lahan ini pun bukan sekedar tanaman pangan yang biasa, melainkan padi dan sayuran organik tanpa campuran bahan kimia dalam proses tanam hingga panen.
Perlahan, sayuran dan padi yang ditanamkan oleh kelompok Pita Aksi ini mulai memberikan kontribusi yang besar pada masing-masing anggota. Kini padi yang dihasilkan kelompok tersebut telah mencapai 6 ton per tahun dari sebelumnya hanya 4 ton per tahun.
Sayuran organik yang dihasilkan pun pernah dipasok ke pasar modern di kota Makassar. Tetapi sayangnya pasokan ke pasar modern saat ini tengah terhenti karena terkendala sertifikasi organik yang belum dimiliki oleh kelompok tersebut.
Advertisement
Kegigihan Berbuah Manis
Kegigihan Berbuah Manis
Meski demikian, untuk Rahmah sendiri, kegiatan bercocok tanam dan adanya kelompok ini banyak memberikan manfaat baginya. Dari hasil menjual sayuran organik, Rahmah bisa menerima pendapatan setidaknya Rp 500 ribu per bulan untuk dia tabung.
Hasil tabungan dari penjualan sayuran ini juga berguna pada saat darurat seperti untuk biaya kuliah anak pertamanya bernama Khaerunnisya yang mengambil jurusan kebidanan.
"Hasil dari penjualan sayuran ini ternyata bisa saya gunakan untuk anak kuliah yang mau final saat itu. Dia harus kompre di Magelang butuh uang Rp 11 juta. Tadinya bapaknya mau gadai tambak, tapi saya bilang tidak usah, tabungan dari budidaya sayuran saya ada Rp 11 juta, itu tabungan selama 2 tahun," jelas dia.
Selain bersama-sama mengembangkan tanaman padi dan sayuran organik, di dalam kelompok Pita Aksi ini, Rahmah juga memberikan pengajaran baca tulis kepada para anggotanya dan warga sekitar tiga kali seminggu.
Selain itu, Rahmah juga memberikan pembelajaran di SD di sekitar tempat tinggalnya tentang cara membudidayakan tanaman organik dan pembuatan pupuk kompos. "Itu sudah sekitar 1 tahun lebih dan mereka manfaatkan pekarangan sekolah untuk praktik," kata Rahmah.
Hasil dari kerja kerasnya tak sia-sia, wanita lulusan Madrasah Aliyah atau setingkat SMA ini diganjar beberapa penghargaan baik lokal maupun internasional seperti Penghargaan sebagai Keluarga Asuh dalam Program Internasional Citizen Service Sukarelawan Kaum Muda Indonesia United Kingdom (UK) pada 2013, Juara I Kategori Pelaku Pembangunan Ketahanan Pangan dari Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sulawesi Selatan pada 2014.
Selain itu ada juga penghargaan Kategori Petani Teladan II dari Gubernur Sulawesi Selatan, Penghargaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada 2014, dan Penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara dari Menteri Pertanian.
Bahkan, Rahmah sempet diundang oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Istana Negara pada 16 Januari 2015. Pertemuannya dengan orang nomor satu di Indonesia tersebut memberikan kesan tersendiri bagi ibu dua orang anak ini.
Rahmah berharap, apa yang telah dilakukannya ini, juga bisa menular ke pada ibu rumah tangga di desa-desa lain di Indonesia. Dengan tidak meninggalkan tugas sebagai seorang ibu, Rahmah mampu membuktikan, dirinya menjadi penopang ekonomi keluarga dan membawa inspirasi bagi ibu rumah tangga lain di dusunnya. (Dny/Ahm)