Kejahatan Faktur Pajak Bodong Sama Seperti Perampokan

Kejahatan penggunaan faktur pajak fiktif alias bodong sama dengan perampokan. Ganjarannya dipidana paling lama enam tahun penjara.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 27 Agu 2015, 15:45 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2015, 15:45 WIB
Ilustrasi Pajak (3)
Ilustrasi Pajak (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen dan Penyidikan Kanwil DJP Jaksel, Agus Satria Utama menganggap kejahatan penggunaan faktur pajak fiktif alias bodong sama dengan perampokan. Ganjarannya dipidana paling lama enam tahun penjara.

"Kalau bicara faktur fiktif, kejahatannya sama kayak orang merampok. Pengusaha Kena Pajak (PKP) mengurangi kewajiban setoran ke kas negara. Sedangkan dari sisi penerbit, PKP tidak menerbitkan faktur sederhana," ujar dia di kantornya, Jakarta, Kamis (27/8/2015).

Hukuman bagi Wajib Pajak individu maupun perorangan yang menggunakan faktur bodong, kata Agus, diancam hukuman pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama enam tahun. Sementara denda paling sedikit dua kali dan paling banyak enam kali jumlah pajak dalam faktur pajak.   

"Jadi seperti merampas uang masyarakat dan negara," kata Agus.

Seperti kasus yang menimpa SH alias RM, seorang pemegang saham sekaligus komisaris di PT MSL, perusahaan trading CPO atau minyak kelapa sawit mentah. Dia diseret Penyidik Direktorat Jenderal/Ditjen Pajak Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan menyeret ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

‎Penyerahan tersangka SH alias RM ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dilakukan pada Selasa 25 Agustus 2015. Penyidikan terhadap SH, sambung Agus merupakan ‎pengembangan dari kasus penyidikan sebelumnya dengan tersangka MK alias ET, direksi PT MSL.

MK alias ET sudah divonis bersalah karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara serta denda sebesar Rp 44 miliar subsider kurungan tiga bulan.

"Jadi perbuatan SH alias RM ini diduga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara sebesar Rp 16,2 miliar," kata Agus.

Dia menjelaskan, modus operandi yang diduga dilakukan kurun waktu 2010-2012 oleh tersangka SH alias RM dengan cara menggunakan faktur pajak Pertambahan Nilai (Pajak Masukan) dari pihak ketiga tanpa didasarkan transaksi yang sebenarnya.

"Dia juga menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN yang isinya tidak benar dan sudah dilakukannya sejak 2010," ujar Agus. (Fik/Ndw)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya