Didesak Cabut Penghargaan Buat Perusahaan Rokok, Ini Kata Menkeu

Penghargaan kepada perusahaan rokok terkesan aneh dan tidak wajar karena yang membayar cukai rokok adalah konsumen, bukan industri.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 04 Feb 2016, 19:39 WIB
Diterbitkan 04 Feb 2016, 19:39 WIB
20160119-Buruh-Tembakau-AFP
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau di pabrik rokok di Jember (13/2/2012). (AFP / ARIMAC WILANDER)

Liputan6.com, Jakarta - Dua lembaga mendesak pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro untuk mencabut penghargaan yang diberikan kepada empat perusahaan rokok penyumbang cukai terbesar sepanjang 2015. Alasannya karena penghargaan tersebut dapat memberikan dampak ekonomi dan sosial bagi masyarakat.

Dua lembaga yang mengecam penghargaan tersebut adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Koalisi Rakyat Bersatu (KRB) yang diikuti aksi penyerahan puluhan ribu suara pernyataan publik.

Menanggapi hal ini, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengaku telah terjadi salah paham atas penghargaan kepada empat perusahaan rokok raksasa yang telah berkontribusi besar terhadap penerimaan cukai pada tahun lalu.

"Itu salah pengertian. Kami beri penghargaan bukan besaran cukainya tapi kepatuhan mereka dalam mekanisme pembayaran. Saya sudah jelaskan ke mereka (lembaga), dan mereka paham," tegasnya saat ditemui di kantor Kemenko Bidang Perekonomian,Jakarta, Kamis (4/2/2016).

Sebelumnya, Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi ‎menganggap penghargaan itu sebagai tindakan tidak etis seorang menteri karena beberapa alasan. Pertama, sambungnya, peningkatan cukai rokok dinilai sama dengan kenaikan jumlah perokok di Indonesia.

"Itu artinya Menkeu memang menghendaki masyarakat Indonesia jadi perokok aktif dan mendukung mereka saaakit akibat konsumsi rokok. Menkeu juga artinya mendukung kemiskinan karena konsumsi rokok memicu kemiskinan," ujar Tulus.

Ia menganggap, tindakan Menkeu sangat ironis mengingat dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan dari konsumsi rokok cukup besar. Dari data YLKI, sambungnya, nilai cukai yang diterima tidak sebanding dengan dampak sosial ekonomi dari konsumsi rokok yang rata-rata mencapai empat kali lipat.

"Kerugian sosial ekonominya bisa mencapai minimal Rp 700 triliun. Jadi penerimaan cukai defisit jika dikaitkan dengan kerugian sosial ekonomi. Ini menunjukkan pernyataan Menkeu sangat kontraproduktif," jelas Tulus.

YLKI, ditegaskannya, meminta Menkeu mencabut apresiasi dan ucapan terima kasih kepada perusahaan rokok tersebut. "Dan menggantinya dengan ucapan dukaa cita serta keprihatinan. Apalagi terbukti sistem cukai di Indonesia belum mampu menjadi instrumen untuk mengendalikan konsumsi rokok. Ini karena peningkatan cukai rokok dilakukan dengan cara kenaikan produksi rokok," tutur Tulus.

Senada Sekjen KRB Hery Chariansyah juga menuntut hal yang sama. Pengenaan cukai, sambungnya, karena konsumsi rokok merugikan pengguna dan dil ingkungan sehingga harus dikendalikan. Penghargaan atas cukai rokok akan memicu peningkatan produksi. Dengan kata lain, semangat penjualan rokok bertentangan dengan semangat membangun Indonesia sebagai bangsa yang sehat.

"Mengandalkan cukai rokok sebagai penerimaan dan pembangunan negara menunjukkan Indonesia darurat untuk mengkapasitasi kemampuan pemerintah dalam menggali potensi lain penerimaan negara," tambah Hery.

Menurutnya, penghargaan kepada perusahaan rokok terkesan aneh dan tidak wajar karena yang membayar cukai rokok adalah konsumen, bukan industri. Konsumen membeli rokok dengan harga dasar ditambah cukai ditandai pita cukai yang menempel pada bungkus rokok.

Selain itu, cukai tidak pernah masuk dalam struktur biaya produksi rokok yang menjadi beban industri. Karena itu, tidak layak bila industri rokok mendapat penghargaan sebagai pembayar cukai terbesar.

"Rokok adalah racun dan memiskinkan rakyat Indonesia. Jadi kita menuntut Menkeu mencabut penghargaan itu dan tidak akan memberikan penghargaan apapun kepada industri rokok seterusnya," kata Hery. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya