Liputan6.com, Jakarta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan iklim persaingan usaha di Indonesia masih kalah dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara. Pasalnya, ‎berdasarkan pemetaan KPPU, indeks persaingan usaha di Indonesia saat ini masih berada di bawah level 0,5.
Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan, indeks persaingan usaha menggunakan skala 0-1. Semakin tinggi indeks maka menunjukkan semakin baiknya iklim persaingan usaha di suatu negara.
"Kita masih di bawah 0,5 yang artinya masih relatif rendah. Masih kalah dengan banyak negara tetangga yang sudah berada di level 0,6," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (10/8/2016).
Advertisement
Syarkawi menjelaskan, ada tiga sektor yang disurvei KPPU dalam indeks ini, yaitu sektor manufaktur, perbankan dan regulasi. Di sektor manufaktur, kata dia, iklim persaingan masih kurang sehat karena pemainnya hanya sedikit.
Selain itu, model bisnis manufaktur di Indonesia rata-rata menerapkan model terintegrasi dari hulu ke hilir. Dengan model terintegrasi itu, maka ada semacam dominasi pasar oleh para pemain besar, itu yang menyebabkan pemain bisnis di sektor ini masih sedikit.
Menurut dia, kondisi ini berbeda dengan yang ada di luar negeri seperti Jepang. Di Negeri Sakura tersebut, para perusahaan manufaktur menjalin kemitraan dengan para produsen kecil untuk mensuplai komponen-komponen mesin.
"Model integrasi bisnis dari hulu ke hilir ini tidak bagus," kata dia.
Untuk persaingan di sektor perbankan, lanjut dia, juga tidak jauh berbeda. Syarkawi mencontohkan, saat ini ada beberapa bank yang menguasai 30 persen-40 persen aset perbankan secara nasional.
Sedangkan dari sisi regulasi, KPPU menyebut masih banyak regulasi yang menghambat adanya persaingan. Salah satu contohnya terjadi pada proses lelang proyek di pemerintah daerah seperti proyek perbaikan jalan.
Syarkawi mengatakan, tidak sedikit pemerintah daerah yang mewajibkan kontraktor untuk memiliki asphalt mixing plant atau alat pencampur aspal jika mau mengikuti tender. Dan yang menjadi permasalahan, alat tersebut biasanya hanya dimiliki oleh kontraktor besar.
"Sehingga, yang dapat proyek ya kelompok yang itu-itu saja," tandas dia.