Ikut Pelatihan Ini, Lulusan SD Dapat Sertifikat Kompetensi

Penting untuk mempercepat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan vokasional yang memiliki standar kompetensi.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 12 Agu 2016, 10:25 WIB
Diterbitkan 12 Agu 2016, 10:25 WIB
20151119- Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri-Jakarta-Johan Tallo-0
Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri menyimak keterangan saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/11). Rapat tersebut membahas isu-isu terkait permasalahan tenaga kerja di Indonesia.(Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah terus mendorong peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia, baik yang bekerja maupun yang menganggur melalui perbaikan pendidikan dan pelatihan tingkat tinggi (vokasional). Mirisnya, pemerintah hanya menganggarkan dana lebih rendah dibanding negara tetangga, Malaysia ‎untuk penyelenggaraan program tersebut.

Menteri Tenaga Kerja (Menaker), Hanif Dhakiri menyatakan, sebanyak ‎62 persen dari jumlah angkatan kerja Indonesia 128 juta orang didominasi lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Profil 128 juta angkatan kerja ini, terdiri dari sekitar 121 juta orang yang bekerja, dan pengangguran sebanyak 7 juta orang.

"Kalau melihat 62 persen angkatan kerja kita lulusan SD dan SMP, berarti keduanya perlu didorong untuk bisa mendapat akses meningkatkan keterampilan dan kompetensi, baik yang nganggur atau yang sudah bekerja," kata Hanif di Jakarta, seperti ditulis Jumat (12/8/2016).

Penting untuk mempercepat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan vokasional yang memiliki standar kompetensi. Tujuannya mempersiapkan SDM terampil untuk kebutuhan industri. Jadi ‎lulusan dari pendidikan dan pelatihan vokasional lebih mudah terserap di pasar kerja maupun berwirausaha.

"Jadi misalnya masuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau ikut pendidikan di Balai Latihan Kerja (BLK) untuk mendapat kompetensi tertentu, setelah itu kita uji kompetensi. Lulus, dia mendapatkan ijazah dan sertifikasi profesi keahlian tertentu," Hanif menerangkan.

Kendalanya, ia mengaku, dukungan pendanaan untuk anggaran vokasi di Indonesia hanya sekitar Rp 2 triliun untuk 128 juta tenaga kerja. Jumlah ini jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan Malaysia yang mengalokasikan anggaran Rp 13 triliun untuk basis 15 juta tenaga kerja yang mereka miliki.

"Jadi kita dorong keterlibatan swasta, dan industri dalam mengembangkan standar, baik kurikulum, instruktur dan guru supaya kita bisa mempercepat pendidikan dan pelatihan ini. Hasilnya bisa mendapat tenaga kerja yang relevan dengan kebutuhan pasar," jelas Hanif.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menambahkan, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan vokasional tidak perlu mencari model baru karena berbiaya mahal. Caranya, cukup mencontoh model dari beberapa negara lain yang sudah memiliki program serupa dan berhasil.

"Secara kelembagaan, mekanisme pelatihan dan pendidikan vokasional sudah ada, tapi belum berjalan dengan baik," tega‎snya.

Percepatan peningkatan kompetensi tenaga kerja, dinilai Darmin sangat penting agar Indonesia mampu bersaing dalam persaingan bebas dengan negara lain. "Makanya kita perlu mendorong masuknya swasta dalam program ini. Dengan begitu, pemerintah tidak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak, hanya perlu memberikan insentif," jelas Darmin.

Terkait kompetensi pendidikan dan pelatihan vokasional, ia menekankan keseimbangan komposisi pembelajaran. Fokusnya, pada praktik dengan komposisi 70 persen on job training (magang) di industri dan 30 persen teori dengan kurikulum berbasis kompetensi.

"Kalau sudah tamat dari pendidikan vokasional, mereka tidak hanya dapat ijazah, tapi juga sertifikat berdasarkan standar kompetensi dari modul yang ada. Untuk itu, kewenangan kelembagaan Badan Nasional Sertifikasi Profesi perlu diperkuat," ucap Darmin. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya