Pakai Kilang Shell, Impor Premium Pertamina Berkurang

Pertamina memperkirakan impor premium bisa berkurang sebanyak 1 juta barel per bulan usai perseroan mengolah minyak di kilang milik Shell.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 31 Agu 2016, 18:45 WIB
Diterbitkan 31 Agu 2016, 18:45 WIB
Ilustrasi Perusahaan Minyak dan Gas Pertamina
Ilustrasi Perusahaan Minyak dan Gas Pertamina

Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) mencatat impor premium berkurang sebanyak 1 juta barel per bulan dengan diolahnya minyak mentah Basrah asal Irak‎ milik Pertamina di kilang milik Shell International Eastern Trading Company (SIETCO)‎ melalui skema crude processing deal (CPD).

‎Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto mengatakan, Pertamina dan pemerintah memiliki keinginan untuk menekan impor bahan bakar minyak (BBM), salah satu caranya dengan menerapkan CPD. Yaitu, minyak Basrah asal Irak milik Pertamina diolah pada kilang milik SIETCO di Singapura, hasil olahnya berupa Premium untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

‎"Secara negara maupun perusahaan di masa lalu selalu dapat tekanan impor produk besar, tentu ada keinginan usaha kita mengurangi tekanan langsung impor ini," kata Dwi di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Rabu (31/8/2016).

Menurut Dwi, melalui skema tersebut akan mengurangi impor premium dari pasar 1 juta barel per bulan‎, dengan begitu ketergantungan impor terhadap BBM semakin berkurang.

‎‎"Ada potensi muncul memanfaatkan crude Pertamina dari Irak Basrah, 1 juta barel per bulan ini langkah bisa mengurangi impor langsung," tutur Dwi.

Senior Vice President Integrated Suply Chain (ISC) Daniel Purba menjelaskan, saat ini konsumsi Premium Indonesia sebanyak 18 juta barel per bulan, premium tersebut berasal dari dalam negeri 9 juta barel per bulan dan separuhnya lagi dari luar negeri.

Kemudian porsi impor premium berkurang menjadi 7 juta barel per bulan dengan beroperasinya kilang TPPI Tuban, pengurangan impor premium 1 juta barel per bulan kembali terjadi karena penerapan skema CPD, dengan begitu impor premium Indonesia sekitar 6 juta.

‎"Dengan adanya ini 1 juta kita kurang lagi, jadi 6 juta dari pasar," jelas Daniel. (Pew/Ndw)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya