Kenapa Setoran Tax Amnesty di Periode II Masih Seret?

Prosedur dan form tax amnesty masih dianggap ribet karena terlalu detail untuk melaporkan sebuah kekayaan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 22 Nov 2016, 09:34 WIB
Diterbitkan 22 Nov 2016, 09:34 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Realisasi uang tebusan dan deklarasi harta dari program pengampunan pajak (tax amnesty) di periode II berjalan lambat. Jumlah uang tebusan berdasarkan Surat Pernyataan Harta (SPH) yang masuk belum menunjukkan pergerakan signifikan, yakni Rp 94,7 triliun.

Berdasarkan data dashboard Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (22/11/2016), nilai pernyataan harta baik deklarasi dalam negeri maupun repatriasi mencapai Rp 3.934 triliun dari 457.668 SPH. Sementara uang tebusan dari SPH Rp 94,7 triliun dan Rp 98,5 triliun berdasarkan Surat Setoran Pajak (SSP).

Menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI), Riant Nugroho, ada beberapa faktor yang menyebabkan lambannya penerimaan pajak dari tax amnesty di periode II, termasuk deklarasi dan repatriasi yang baru mencapai Rp 143 triliun hingga saat ini.

"Pertama, kebijakan tax amnesty sudah ingkar janji, tadinya mau menarik uang di luar negeri, tapi faktanya di dalam negeri. Kedua, prosedur dan form tax amnesty masih dianggap ribet karena terlalu detail untuk melaporkan sebuah kekayaan," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Selasa ini.

Ketiga, Riant menambahkan, masih ada kecemasan dari pemilik dana bahwa ikut tax amnesty bisa bebas dari pemeriksaan ke depan, bukan saat ini saja tapi 5 tahun, 10 tahun bahkan 20 tahun ke depan.

"Sebab kita masih punya Undang-Undang Tipikor, yang berlaku surut. Apa yakin lima tahun lagi, data kita tidak diutak atik, karena Bareskrim, Tipikor masih bisa ngejar. Ini dilemanya masih bisa dibongkar ke depannya," kata Riant.

Terakhir, katanya, pemerintah harus benar-benar meyakinkan masyarakat atau pemilik dana, penerimaan dana tax amnesty digunakan untuk membangun infrastruktur, bukan justru membayar utang.

"Jadi tax amnesty periode I berhasil, ya iya karena tujuannya supaya dana di luar negeri balik ke Indonesia, tapi dipaksakan menyasar ke dalam negeri. Dari segi konsep saja kurang jujur. Periode II kurang berhasil karena alasan tadi," Riant menjelaskan.

Pemerintah, disarankan Riant, untuk segera mengevaluasi program tax amnesty. Sebab, dia memperkirakan, penerimaan dari tax amnesty hanya akan tumbuh 10-20 persen hingga periode III dari realisasi saat ini apabila pemerintah tidak mengambil langkah perbaikan di tengah jalan.

"Pemerintah evaluasi tax amnesty saja dulu, apakah perlu direvisi atau ada perbaikan. Bisa juga di hold dulu, ini bukan hal yang jelek kok," ucap dia.

Dengan langkah perbaikan yang berbeda untuk pelaksanaan tax amnesty di sisa periode, Riant berharap, program ini akan berjalan lebih maksimal, pemerintah mendapatkan citra baik, termasuk kepercayaan lagi dari masyarakat atau pemilik dana.

"Ekonomi lagi susah, pemerintah empati sedikit lah sehingga repatriasi tidak akan mudah. Tapi kalau pemerintah bisa menjaga kepercayaan, mudah-mudahan uang berbondong-bondong masuk. Masalahnya sekarang ada trust, tapi belum cukup," papar Riant.

Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Kementerian Keuangan, Hestu Yoga Saksama, mengatakan, pemerintah masih menunggu realisasi repatriasi hingga akhir Desember 2016.

"Kan masih ada waktu bagi Wajib Pajak untuk repatriasi harta dari luar ke dalam negeri sampai dengan 31 Desember 2016, jadi tunggu saja karena masih bisa bertambah," jelasnya.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan, sesuai Undang-undang (UU) Tax Amnesty dan aturan turunannya, batas waktu bagi pemilik dana melakukan repatriasi hingga akhir Desember ini.

"Nanti kita track, tapi kita masih menunggu waktu karena mungkin banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Kalau mau masukkan bulan Desember juga tidak apa, karena memang aturannya membolehkan hal tersebut," ia memungkasi. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya