Liputan6.com, Jakarta Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama dua tahun lebih dinilai telah melakukan banyak terobosan di bidang perumahan rakyat. Salah satunya dengan menggalakkan Program Sejuta Rumah (PSR).
Sejumlah regulasi sudah dikeluarkan, mulai dari uang muka KPR subsidi yang ringan, suku bunga rendah dan jangka waktu kredit yang panjang, melalui Paket Kebijakan Ekonomi ke-13 yang juga sedang disiapkan demi penyederhanaan perizinan untuk pengadaan rumah rakyat bersubsidi.
Meski begitu, Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Vidi Surfiadi tetap berharap adanya sinergi yang lebih intens lagi dari empat kementerian yang berkaitan dengan sektor perumahan rakyat.
Advertisement
Baca Juga
Misalnya melalui penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) sebagai panduan pelaksaaan PSR di lapangan terutama di daerah.
Keempat kementerian terkait dengan sektor perumahan rakyat yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Di bawah instruksi Pak Jokowi kita berharap empat kementerian ini bisa lebih bersinergi dan memilih pandangan yang sama untuk memback-up PSR. Dengan regulasi bersama, apakah dalam bentuk SKB atau Inpres sehingga PSR bisa lebih optimal," kata dia di sela-sela Musyawarah Nasional (Munas) Apersi ke-V di Hotel Kartika Chandra, Jumat (16/12/2016).
Dia memberi contoh pada era Orde Baru, di bawah Menteri Perumahan Rakyat Akbar Tanjung pasokan rumah rakyat cukup berhasil, bahkan bisa mencapai 200 ribu unit per tahun.
Salah satu pendukung keberadaan SKB 3 Menteri yakni Menteri PU, Mendagri dan Menteri Perumahan Rakyat pada 1992 sehingga mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat.
Vidi meyakini hal serupa bisa dilakukan di bawah pemerintahan Presiden Jokowi yang memiliki kepedulian terhadap bidang perumahan rakyat.
"Regulasi bersama itu nantinya harus bersifat wajib dipatuhi dan dilakukan pemerintah daerah. Saya kira itu tidak sulit kalau instruksinya dari presiden," tegas pengembang yang pernah menjabat Ketua DPD Apersi Banten tersebut.
Ke depan, hal lain yang perlu dilakukan asosiasi pengembang rumah menengah bawah adalah mengawal implementasi Paket Kebijakan Ekonomi ke-13 terutama terkait kemudahan perizinan untuk pembangunan rumah rakyat di daerah.
Menurut Vidi, hampir 100 persen anggota Apersi adalah pengembang rumah bersubsidi.
Berdasarkan riset yang dia lakukan, ada dua segmen pasar rumah murah bersubsidi yang harus dioptimalkan penyerapannya yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pekerja sektor informal.
"Kedua segmen pasar tersebut selama ini belum tergarap maksimal, padahal potensinya besar sekali," kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung itu.
Menurut Vidi, berdasarkan data Bapertarum-PNS terungkap kalau ada sekitar 972 ribu PNS di seluruh indonesia yang membutuhkan rumah. Selama ini mereka masih mengontrak atau tinggal di rumah orang tua maupun keluarga. Ironis sekali mengingat PNS adalah garda terdepan negara yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Kemudian potensi pasar dari pekerja informal seperti pedagang kali lima yang jumlahnya besar sekali di Indonesia. Diakui sekarang masih ada masalah untuk mendorong pasar segmen ini karena regulasinya belum ada.
Dia berharap pemerintah pusat dan otoritas moneter nasional bisa mencari solusi agar masyarakat di sektor ini dapat mengakses kredit perumahan. Banyak cara yang bisa dilakukan dari mulai penjaminan oleh pemerintah daerah ke bank, atau menerapkan sistem pembayaran jemput bola untuk menghindari kredit macet.(Muhammad Rinaldi/Nrm)