Pemerintah Diminta Kurangi Penggunaan Batu Bara pada Pembangkit

Sekitar 40 persen listrik yang dihasilkan di seluruh dunia berasal dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.

oleh Septian Deny diperbarui 17 Mar 2017, 15:00 WIB
Diterbitkan 17 Mar 2017, 15:00 WIB
tambang batu bara
(Yuliardia Hardjo Putro/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Greenpeace Indonesia, dan Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) meminta pemerintah mulai memikirkan penggantian batu bara sebagai bahan bakar pembangkit listrik dengan sumber lain yang lebih ramah lingkungan.

Laporan Greenpeace menyatakan selama ini sekitar 40 persen listrik yang dihasilkan di seluruh dunia berasal dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Hal ini lantaran batu bara dianggap sebagai bahan bakar yang murah.

"Batu bara dianggap sebagai bahan bakar yang paling murah. Tapi tanpa mempertimbangkan dampak pada lingkungan," ujar juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia Bondan Andrianu ‎di Kantor WALHI, Jakarta, Jumat (17/3/2017).

Namun, saat ini popularitas batu bara sebagai bahan bakar mulai hilang. Masyarakat dunia mulai sadar akan dampak pencemaran yang dihasilkan dari pembakaran batu bara.

Laporan Greenpeace juga mengungkap sebanyak 200 PLTU batu bara di Amerika Serikat dijadwalkan akan ditutup. Meski demikian, Negeri Pam Sam tersebut tetap akan menambah 46 gigawatt listrik yang berasal dari energi terbarukan, seperti angin, matahari, dan panas bumi.

Bondan mengungkapkan, pada dasarnya penggunaan batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik sangat tidak efisien. Sebab, dari 1 ton batu bara yang dibakar, hanya 30 persen saja yang efektif terpakai untuk pengoperasian pembangkit listrik tersebut.

"Dari 1 ton batu bara itu, hanya 30 persen yang dipakai. Sedangkan 70 persen menjadi partikel dan penyebar di udara," ucap dia. (Dny/Nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya