Pekerja JICT Ungkap Bukti Tak Dapat Gaji Terbesar ke-2 di Dunia

Serikat Pekerja JICT menuturkan, gaji pekerja tertinggi di industri pelabuhan dipegang oleh Amerika Serikat dan Belanda.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 03 Agu 2017, 14:22 WIB
Diterbitkan 03 Agu 2017, 14:22 WIB
Demo Pekerja JICT di Kementerian BUMN
Peserta demo membawa spanduk tutuntan saat menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (31/7). Mereka menuntut evaluasi terkait perpanjangan kerja sama pengelolaan dan pengoperasian pelabuhan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Serikat Pekerja PT Jakarta International Container Terminal (JICT) membantah gaji mereka merupakan yang tertinggi ke-2 di dunia. Bantahan ini menanggapi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Pandjaitan yang menyatakan pegawai JICT mendapat gaji terbesar ke-2 di dunia.

"Dibilang gaji kami tertinggi ke-2 di dunia. Di industri pelabuhan itu, gaji pekerjanya yang tertinggi di Amerika Serikat serta Belanda di Eropa. Kami setelah mereka," ujar Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja JICT, M. Firmansyah saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Kamis (3/8/2017).

"Kalau pernyataan Pak Luhut gaji kami tertinggi di dunia dari secara keseluruhan, itu yang paling tinggi ada Google, dan lainnya. Jadi itu bias. Statement yang dianggap politisasi," ia menerangkan.

Firmansyah pun membantah pernyataan manajemen JICT yang menyebut level terendah di JICT staf di bagian administrasi memperoleh penghasilan Rp 600 juta setahun atau lebih dari Rp 50 juta per bulan.

"Tidak mungkin. Senior Staf di JICT yang sudah 10 tahun bekerja saja, gajinya Rp 11 juta. Ditambah insentif atau bonus Rp 3 juta-Rp 5 juta, jadi take home pay Rp 15 juta-Rp 20 juta per bulan," tutur dia.

Ia membandingkan dengan gaji direksi per bulan yang mencapai Rp 150 juta. Tantiem dan bonus mereka bahkan mencapai separuhnya atau sekitar Rp 75 juta. Belum lagi, gaji komisaris dan direksi JICT naik 18 persen dengan pendapatan JICT yang naik 4,6 persen. Sementara pekerja justru dikurangi haknya 42 persen.

"Gaji dan tantiem direksi mencapai Rp 2,5 miliar per tahun. Ini yang tidak berani diungkap direksi. Mereka sejahtera, pendapatan perusahaan naik, tapi hak pekerja dikurangi," tegas Firmansyah.

Dia menuturkan, isu gaji dipolitisasi sedemikian rupa oleh manajemen secara sistematis, terstruktur sehingga masyarakat menghakimi para pekerja JICT karena dianggap tidak bersyukur atas gaji yang diterima.

"Ini perusahaan untung, kami yang kelola 99 persen, tidak ada asingnya. Hutchinson hanya ongkang-ongkang kaki, diperpanjang kontraknya dengan cara tidak benar," pungkas Firmansyah.

 

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini: 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya