Fantastis, Pesangon Pekerja JICT Capai Rp 6 Miliar

Menteri BUMN Rini Soemarno menegaskan tidak akan ada kerugian apa pun jika kontrak JICT dengan Hutchison Port Holdings diperpanjang.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 08 Agu 2017, 09:30 WIB
Diterbitkan 08 Agu 2017, 09:30 WIB
Suasana Jakarta International Container Terminal (JICT) yang lumpuh total akibat mogok pekerja. (Moch Harun Syah/Liputan6.com)
Suasana Jakarta International Container Terminal (JICT) yang lumpuh total akibat mogok pekerja. (Moch Harun Syah/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Serikat Pekerja (SP) PT Jakarta International Countainer Terminal (JICT) akhirnya menghentikan lebih cepat aksi mogok kerja. Dalam rencana awal, aksi mogok akan dilakukan hingga 10 Agustus. Namun, pada Senin sore, aksi tersebut dinyatakan selesai. Dengan berhentinya aksi mogok tersebut maka aktivitas bongkar muat kembali berjalan normal.

Berhentinya aksi mogok tersebut bukan berarti tuntutan juga gugur. SP JICT tetap menolak perpanjangan kontrak dengan Hutchison Port Holdings yang akan habis pada 2019. Perpanjangan kontrak tersebut dianggap merugikan negara.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno pun menolak tuntutan SP JICT. Ia menegaskan bahwa tidak akan ada kerugian apa pun jika kontrak tersebut diperpanjang selama 10 tahun hingga 2029.

"Justru keuntungan diperpanjang untuk Pelindo II (induk usaha JICT) dan negara, sehingga pendapatan negara bertambah dibandingkan jika tidak diperpanjang,” kata Rini seperti ditulis, Selasa (8/8/2017).

Rini menambahkan, saat ini pekerja JICT memiliki standar gaji paling tinggi di antara terminal peti kemas lainnya yang beroperasi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Maka dari itu, dirinya sedikit heran, adanya tuntutan tambahan bonus yang diminta oleh para pekerja JICT.

Bahkan dirinya menduga, penolakan perpanjangan kontrak JICT tersebut sengaja untuk membuat perusahaan tidak lagi beroperasi dan harus membayarkan pesangon kepada para karyawan. "Ada klausul di JICT dengan serikat pekerja, kalau perusahaan dibubarkan, karyawan akan mendapatkan pesangon sampai 10 tahun,” tambah Rini.

Sementara itu, Direktur Namarin Institute Siswanto Rusdi menambahkan, perpanjangan kontrak JICT tersebut sebenarnya harus dilihat dari sisi positif. Jika perpanjangan kerja sama dibatalkan, pengelolaan dermaga yang menjadi terminal peti kemas PT JICT saat ini akan kembali ke PT Pelindo II pada 2019 mendatang. Dengan demikian, sangat terbuka bagi Pelindo II mencari partner lain untuk mengelola terminal bekas JICT.

“Jika perpanjangan kontrak kerja sama batal, para pekerja PT JICT itu tidak akan punya kerjaan lagi, kan dermaga dikembalikan ke Pelindo II saat kontrak berakhir di 2019. Lalu akan bekerja di mana pekerja JICT yang berpenghasilan besar itu,” ungkap Siswanto Rusdi.

Pengamat industri kemaritiman ini menilai, kondisi JICT yang tidak bisa beroperasi itulah yang justru diharapkan segelintir pekerja di SP JICT. Sebab, situasi itu mengharuskan PT JICT melakukan rasionalisasi.

Sesuai Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara manajemen dan pekerja JICT, jika rasionalisasi dilakukan, perusahaan harus membayar sejumlah kompensasi yang nilainya fantastis.

“Sesuai PKB setiap pekerja yang terkena rasionalisasi rata-rata bisa mendapat Rp 4 miliar hingga Rp 6 miliar di 2019 saat kontrak berakhir. Artinya untuk 700 pekerja JICT biaya rasionalisasi mencapai lebih Rp 3 triliun,” tutup Siswanto.

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya