Pemerintah Masih Bisa Genjot Penerimaan Cukai Tembakau

Dilihat dari realisasi penerimaan cukai hingga Agustus, cukai termbakau masih mendominasi penerimaan negara

oleh Zulfi Suhendra diperbarui 20 Sep 2017, 21:14 WIB
Diterbitkan 20 Sep 2017, 21:14 WIB
20160119-Buruh-Tembakau-AFP
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau di pabrik rokok di Jember (13/2/2012). (AFP / ARIMAC WILANDER)

Liputan6.com, Jakarta Dilihat dari realisasi penerimaan cukai hingga Agustus, cukai termbakau masih mendominasi penerimaan negara. Dari total penerimaan cukai senilai Rp 68,3 triliun, sebesar Rp 65,5 triliun di antaranya berasal dari cukai tembakau.

Wakil Ketua Lembaga Demografi Universitas Indonesia Abdillah Hasan mengatakan, pemerintah masih bisa mengoptimalkan penerimaan dari cukai tembakau. Menurutnya, struktur tarif cukai Indonesia yang sangat rumit menyebabkan hilangnya potensi penerimaan negara. Abdillah lanjut menjelaskan bahwa penggolongan berdasarkan batas produksi 3 miliar batang tidaklah relevan karena akhirnya hanya memberikan insentif bagi perusahaan rokok untuk membayar cukai lebih rendah.

“Golongan produksi lebih dari 3 miliar dan di bawah 3 miliar, ini tidak relevan lagi. Misalnya saya pengusaha rokok, hal ini memberikan insentif bagi saya untuk memproduksi 2 miliar 999 juta batang sehingga cukainya lebih murah,” kata dia di Jakarta, Rabu (20/9/2017).

Sementara itu, anggota Komisi XI DPR RI, Indah Kurnia berpendapat bahwa struktur cukai di Indonesia memang masih perlu pembenahan. Salah satunya adalah tarif cukai untuk segmen SKT (Sigaret Kretek Tangan) dimana seharusnya tidak ada lagi tarif cukai SKT yang lebih tinggi dari tarif cukai Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM).

“Yang menggunakan tangan manusia (SKT), itu tarifnya seyogyanya harus lebih rendah dari mesin (SKM & SPM)”

Indah juga menjelaskan bahwa rumitnya struktur cukai rokok sebenarnya merugikan penerimaan negara karena ada permasalahan di mana ada perusahaan rokok yang membayar cukai Gol 2. Dan ini juga menyebabkan persaingan yang tidak sehat karena perusahaan yang benar-benar kecil harus bersaing dengan perusahaan besar asing di Gol 2.

Indah pun memberikan masukan agar sebaiknya Pemerintah menggabungkan batas volume produksi untuk rokok mesin menjadi 3 milliar batang agar persaingan yang sehat dapat tercipta di industri.

“Digabung saja jadi 3 miliar sehingga tidak ada produsen besar yang mensiasati khususnya yang asing-asing itu akhirnya mendapatkan golongan jadi golongan II," katanya.

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya