Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menerapkan skema baru tunjangan kinerja (tukin) pegawai pajak pada 2018. Tukin yang diperoleh pegawai pajak tahun depan akan dihitung berdasarkan kinerja masing-masing pegawai dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
"Dulu kan berbasis nasional, sebanyak 341 KPP semuanya diukur hanya berbasis penerimaan Ditjen Pajak. Ditjen bagus secara nasional, semua bagus dan sebaliknya," kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak, Puspita Wulandari di kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (7/11/2017).
Puspita lebih jauh mengatakan, skema tunjangan kinerja yang lama kurang memberikan rasa keadilan karena ada KPP yang mengantongi penerimaan pajak lebih dari 100 persen. Tunjangan kinerja sebelumnya diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 Tahun 2015.
Advertisement
"Ada mungkin kantor yang lebih dari 100 persen. Nanti di 2018 akan benar-benar sesuai kinerja masing-masing. Basisnya ada hasil dan ada proses, sehingga akan lebih memberi rasa adil," tutur dia.
Dalam Perpres Nomor 37 Tahun 2015, tunjangan kinerja untuk pegawai pajak di tahun-tahun berikutnya akan diberikan dengan mempertimbangkan realisasi penerimaan pajak pada tahun sebelumnya. Contohnya jika realisasi penerimaan pajak hanya 80 persen, maka tukin yang diterima hanya 80 persen atau dipotong 20 persen untuk semua golongan.
"Dulu basisnya nasional. Tapi di 2018 sesuai kinerja masing-masing. Tukin di 2018 menggunakan dasar perhitungan kinerja 2017. Nanti ada hitungannya di Perpres, intinya setiap kantor dan setiap orang mendapatkan sesuai dengan apa yang dia raih atau capaian kinerjanya," tegas Puspita.
Â
Skema Masih Timpang
Pengamat Perpajakan sekaligus Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo sebelumnya berpendapat, skema reward dan punishment yang berlaku saat ini sangat timpang. Untuk diketahui, skema tersebut mulai dijalankan saat kepemimpinan Menkeu sebelumnya.
"Indikatornya hanya pencapaian target penerimaan pajak. Padahal fungsi pegawai pajak, ada pelayanan ekstensifikasi, penagihan, dan pemeriksaan juga," jelas dia saat dihubungi Liputan6.com.
Selain itu, Prastowo menilai, alokasi kenaikan tunjangan kinerja di setiap level jabatan berbeda jauh. Artinya tidak merata atau tidak proporsional. "Ada ketimpangan alokasi besaran tunjangan. Belum didasarkan pada analisis beban kerja," ia menjelaskan.
Asal tahu, dalam Perpres Nomor 37 Tahun 2015, tunjangan kinerja untuk pegawai pajak di tahun-tahun berikutnya akan diberikan dengan mempertimbangkan realisasi penerimaan pajak pada tahun sebelumnya.
Sebagai gambaran, penerimaan pajak secara keseluruhan per 31 Desember 2016 hanya tercapai Rp 1.105 triliun atau 81,54 persen dari target penerimaan pajak di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 sebesar Rp 1.355 triliun.
Dengan realisasi hanya 81,54 persen, sesuai Perpres, tunjangan kinerja yang berhak diperoleh seluruh pegawai pajak untuk semua golongan sebesar 80 persen.
Besaran tukin berdasar Perpres 37/2015, paling rendah Rp 8,45 juta untuk pelaksana lainnya dan Rp 117,38 juta untuk pejabat Eselon I, seperti Dirjen Pajak. "Tukin dipotong 20 persen kalau realisasi penerimaan pajaknya 80 persen-90 persen. Jadi semua hanya terima tukin 80 persen," ujar Prastowo.
Itu berarti, untuk pegawai pajak level Staf Pelaksana, tunjangan kinerja sebesar Rp 8.457.500 dipotong 20 persen, sehingga tunjangan kinerja yang diterima Rp 6.766.000. Sementara level Dirjen, dari tunjangan kinerja Rp 117.375.000, menerima 80 persen atau Rp 93.900.000.
"Karena skemanya agak timpang, level atas mungkin tidak terlalu terasa (pemotongan)," tukas Prastowo.
Advertisement