DJP: Tak Ada Alasan Singapura Ogah Tukar Data Pajak dengan RI

DJP menyatakan Indonesia sudah sesuai standar internasional untuk keamanan dan perlindungan data.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 23 Nov 2017, 09:30 WIB
Diterbitkan 23 Nov 2017, 09:30 WIB
Pajak
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Manado - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) optimistis Indonesia akan lulus penilaian atas syarat peraturan, serta keamanan dan perlindungan data dalam menyongsong implementasi pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) di September 2018. Oleh karena itu, hal tersebut tidak seharusnya jadi alasan bagi Singapura.

Pernyataan ini menjawab kabar yang menyebut Singapura menolak bertukar data keuangan dengan Indonesia jika Indonesia belum menyelesaikan syarat keamanan dan perlindungan data.

Kepala Subdit Direktorat Perpajakan Internasional Ditjen Pajak, Leli Listianawati menegaskan, Indonesia sudah menyelesaikan rekomendasi menyangkut keamanan dan perlindungan data (confidentiality and data safeguard) yang disyaratkan tim penilai Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes.

"Kita sudah menyelesaikan hard rekomendasi dari asesor, dan melaporkan rekomendasi yang disyaratkan ke Global Forum. Kita juga sudah menyelesaikan sistem teknologi informasi di September ini," tegasnya saat acara Media Gathering di Manado, Sulawesi Utara, Kamis (23/11/2017).

Dari hasil penilaian sementara, kata Leli, keamanan dan perlindungan data Indonesia sudah sesuai standar internasional dan memenuhi confidentiality and data safeguard.

"Jadi tidak ada alasan lagi bagi Singapura untuk tidak melakukan pertukaran informasi keuangan dengan Indonesia. Karena Indonesia sudah dinyatakan lolos soal ini," dia mengatakan.

Leli lebih jauh menerangkan, tahap selanjutnya, syarat keamanan dan perlindungan data Indonesia akan kembali dinilai saat AEoI Working Group di San Marino, Italia pada 13-15 Desember 2017. Penilaian berikutnya di acara itu berasal dari negara-negara peer.

"Itu pendapatnya asesor. Nanti di AEoI Working Group yang nilai negara-negara peer untuk keamanan dan perlindungan data oleh Indonesia. Tapi saya yakin Indonesia akan lolos karena kita sudah mengikuti standar internasional," jelas dia.

Penilaian syarat keamanan dan perlidungan data dalam rangka AEoI di San Marino bulan depan, sambung Leli, akan diikuti dengan penilaian dari sisi aturan atau legalisasi. Pemerintah sudah memiliki Undang-undang (UU) Nomor 9 Tahun 2017 sebagai legislasi primer, dan legislasi sekunder terdiri dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2017 dan PMK 73 Tahun 2017.

"Jadi nanti di San Marino ada dua penilaian, yaitu legal assessment, serta confidentiality and data safeguard. Untuk legislasi primer punya UU 9/2017 yang sudah sesuai Common Reporting Standard (CRS)," ujarnya.

"Sementara untuk PMK ada rekomendasi sedikit dari asesor. Kita bisa perbaiki karena kan tidak signifikan. Keputusannya di San Marino," paparnya.

Leli optimistis, Indonesia akan lulus dua penilaian syarat penerapan AEoI pada September 2018. "Saya yakin dua asessment ini kita lolos dan akan bertukar data di September 2018. Kalau tidak lolos, maka kita bisa nonresiprokal, kita berikan data, tapi tidak menerima data. Ini yang menjadi penting," kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Pengemplang Pajak Bakal Berkurang

Sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan terjadi penurunan aktivitas penghindaran pajak atau tax evasion saat ini. Hal tersebut karena penerapan pertukaran data atau informasi untuk kepentingan pajak secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) pada 2017 dan 2018.

Sri Mulyani menyampaikan, akhir-akhir ini persoalan perpajakan mengemuka secara global. Kondisi ini berbeda dengan 10 tahun lalu, di mana tidak ada pembahasan tax evasion.

“Sekarang kita ada kebijakan AEoI, Common Reporting Standard (CRS), dan hasilnya adalah penurunan penghindaran pajak," kata Sri Mulyani, dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat 13 Oktober 2017.

Upaya implementasi AEoI dan CRS merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang sedang dilakukan pemerintah. Termasuk wacana menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan di Indonesia yang saat ini 25 persen.

"Dalam pertemuan G20 beberapa waktu lalu, kami berupaya menurunkan tarif pajak supaya bisa menarik lebih banyak investor. Tarif pajak di Indonesia kini 25 persen, tapi lihat bagaimana tarif pajak Singapura yang jauh lebih kecil 17 persen. Kita harus menetapkan apa kebijakan fiskal yang dikehendaki, dari sisi penerimaan dan pengeluaran," ucap Sri Mulyani.

Memperbaiki instrumen fiskal, diakuinya, dapat menciptakan pertumbuhan yang inklusif. Lebih jauh, Sri Mulyani bilang, ada kekhawatiran tidak semua orang bisa menikmati dan berbagi dalam kemajuan global. "Ini belum cukup inklusif," dia menambahkan.

Pemerintah, kata Sri Mulyani, harus menciptakan kesempatan yang sama bagi semua orang supaya ada kemajuan. Hal ini tidak mudah karena berarti harus ada kebijakan berani untuk sektor pendidikan, kesehatan, dan layanan-layanan dasar yang fleksibel, sehingga mudah dijalankan.

Direktur Pelaksana International Moneter Fund (IMF) Christine Lagarde mengatakan, tidak seperti tahun lalu ketika pasar negara berkembang mendorong kenaikan, kenaikan saat ini lebih seimbang. "Ini lebih luas, lebih solid dan seharusnya lebih baik. Tapi itu perlu berkelanjutan dan menguntungkan semuanya," terangnya.

Lagarde juga sempat memuji Sri Mulyani terkait isu korupsi dan pajak. "Saya akan menyampaikan hal ini secara terang-terangan karena mungkin Sri Mulyani tidak mau mengatakannya. Indonesia menghadapi isu korupsi dan pengelakan pajak yang cukup rumit. Sri Mulyani berhasil mendorong upaya untuk mengatasi kedua permasalahan itu," tegas Sri Mulyani.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya