Pertukaran Informasi Pajak Antarnegara Bikin Warga RI Khawatir?

Singapura dan Guernsey sepakat bersama Indonesia untuk melaksanakan pertukaran informasi secara otomatis berdasarkan sistem CRS.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 10 Okt 2017, 14:24 WIB
Diterbitkan 10 Okt 2017, 14:24 WIB
Ilustrasi transaksi bank
Nasabah saat melakukan transaksi keuangan di ATM. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menyatakan pertukaran data atau informasi secara otomatis untuk kepentingan perpajakan (Automatic Exchange of Information/AEoI) di 102 negara pada 2017-2018 sudah membuat nasabah yang menyembunyikan hartanya di luar negeri kelimpungan.

Hal ini menyusul kasus transfer dana senilai US$ 1,4 miliar atau Rp 18,9 triliun dari Guernsey ke Singapura melalui Standard Chartered Bank oleh 81 Warga Negara Indonesia (WNI).

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Ken Dwijugiasteadi optimistis bahwa data atau informasi pajak para nasabah Indonesia di bank-bank luar negeri lambat laun akan seluruhnya terbuka seiring implementasi AEoI yang dimulai tahun ini dan tahun depan.

"Oh iya (laporan dari bank lain). AEoI jalan, pasti semua bank bakal lapor ke otoritas pajaknya masing-masing. Lalu diberikan ke kita. Perlakuannya persis sama kita ke mereka," kata Ken di Jakarta, Selasa (10/10/2017).

Sementara itu, Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak, Poltak Maruli John Liberty Hutagaol mengatakan, Singapura dan Guernsey sepakat bersama Indonesia untuk melaksanakan pertukaran informasi secara otomatis berdasarkan sistem Common Reporting Standar (CRS).

CRS adalah standar untuk mengumpulkan data, melaporkan data, dan informasi perpajakan antar negara. "Jadi ke depan no place to hide bagi para pengemplang pajak, karena ada 102 negara atau yurisdiksi yang sepakat untuk melaksanakan AEoI," ujarnya kepada Liputan6.com.

John mengaku, saat ini sudah ada 102 negara atau yurisdiksi yang berkomitmen melaksanakan pertukaran data untuk kepentingan perpajakan ini. Di tahap berikutnya, sambung dia, semakin banyak negara atau yurisdiksi akan ikut AEoI, yaitu Vietnam dan Thailand.

"Jadi kemana saja perlakuannya sama (level of playing fields). Tekanan internasional membuat semua negara dan yurisdiksi harus siap membuka diri atas informasi keuangan untuk tujuan pajak," terang dia.

Sebelumnya, Ken mengungkapkan, telah memperoleh Laporan Hasil Analisis (LHA) dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak beberapa bulan lalu mengenai transaksi mencurigakan nasabah Indonesia melalui Standard Chartered senilai US$ 1,4 miliar.

"Dari LHA PPATK, disebutkan ada beberapa alasan 81 WNI transfer dana US$ 1,4 miliar dari Guernsey ke Singapura melalui Standard Chartered," kata Ken.

Menurut Ken, seluruhnya terkait dengan perpajakan. Alasan itu, diakuinya, bukan untuk menghindari pajak, tetapi takut dengan otoritas pajak setempat karena mulai Guernsey akan membelakukan skema pelaporan perpajakan global atau Common Reporting Standard (CRS).

"Dari LHA PPATK, disebutkan bukan menghindar, tapi takut dengan pajak. Karena data informasi di Guernsey kan mau dilaporkan melalui CRS. Itu yang mereka takut dilaporkan ke pajak, padahal pajak sendiri sudah punya datanya," jelas Ken.

Alasan lainnya, Ken lebih jauh bilang, nasabah-nasabah itu melakukan transfer dana ke Singapura karena ingin ikut program pengampunan pajak (tax amnesty) di Indonesia. Dari data Ditjen Pajak, dari 81 WNI, sebanyak 62 di antaranya sudah ikut tax amnesty.

"Kalau ditanya untuk apa menarik dana di bank itu, ada yang jawab dipindahkan ke Singapura karena mau ikut tax amnesty, dan itu benar," tutur dia.

Tonton Video Pilihan Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya