Industri Farmasi: Pakai Garam Lokal, Pasien Kejang-Kejang

Industri farmasi menceritakan penggunaan garam lokal yang tidak cocok untuk produk kesehatan.

oleh Septian Deny diperbarui 20 Mar 2018, 18:19 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2018, 18:19 WIB
Infus
Dari kebutuhan 150 juta unit infus, baru setengahnya mampu diproduksi oleh pabrik dalam negeri, sisanya mengimpor dari banyak negara.

Liputan6.com, Jakarta - Industri farmasi merupakan salah satu industri yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap garam industri impor sebagai bahan baku. Pada tahun ini, kebutuhan garam untuk industri tersebut mencapai 6.846 ton.

Plant Manager PT Intan Jaya Medeka Solusi, Rudi Santoso mengatakan, ‎pada tahun lalu perusahaan mengalami kesulitan untuk mendapatkan garam industri. Padahal seiring dengan peningkatan keanggotaan BPJS Kesehatan, kebutuhan akan obat-obatan dan alat kesehatan terus meningkat.

"(Garam) Ini penting. Sekarang BPJS pelanggan saya. Memang 2017 agak sulit untuk impor garam industri," ujar dia di Kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Jakarta, Selasa (20/3/2018).

Rudi mengungkapkan, setiap tahunnya industri farmasi membutuhkan garam sekitar 6.000 ton. Namun ke depannya, kebutuhan garam diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan akan obat-obatan.

"Kami impor sebetulnya tidak terlalu banyak. Hanya 1.200-1.300 ton. Kalau dari semua farmasi, 5.000-6.000 ton. Sekarang mungkin bisa 8.000-10 ribu ton. Karena trennya cukup tinggi, dan sekarang BPJS cover semua,"‎ jelas dia.

Menurut Rudi, perusahaan juga pernah menggunakan garam lokal untuk kebutuhan produksinya. Namun ternyata garam tersebut tidak cocok, bahkan hingga menyebabkan kejang-kejang pada pasien yang menggunakan produk farmasinya.

"Kami juga pernah melakukan modifikasi produk, menggunakan garam lokal yang (kualitas) agak tinggi, enggak bisa masuk. Di Bali, pasiennya kejang-kejang karena garamnya kurang kemurniannya. Karena purity harus 99 persen, bahkan 100 persen," tandas dia.

21 Perusahaan Kritis Akibat Kurang Stok Garam

Mereka yang Rasakan Pahitnya Harga Garam
Petani garam Madura. (Liputan6.com/Mohamad Fahrul)

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) segera mengeluarkan rekomendasi izin impor garam industri untuk beberapa industri yang sudah dalam kondisi kritis. Hal ini menyusul lebih dari 21 perusahaan yang sudah berhenti produksi, mengurangi ribuan karyawan, bahkan berniat hengkang dari Indonesia akibat menipisnya stok garam industri. 

"Lebih dari 21 perusahaan kritis," ungkap Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kemenperin, Achmad Sigit Dwiwahjono saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (19/3/2018). 

Dia mengakui, puluhan perusahaan tersebut sudah berteriak karena stok garam industri kian menipis. Stoknya kini tinggal satu sampai dua minggu ke depan.

"Stoknya tinggal satu hingga dua minggu. Lima industri makanan minuman sudah berhenti produksi dan satu industri farmasi yang memproduksi cairan infus (juga setop produksi) karena tidak ada garam," jelasnya. 

Parahnya lagi, Achmad tidak menampik jika sudah ada rencana dari perusahaan yang memproduksi lensa kontak untuk kabur dari Indonesia ke negara lain. Perusahaan tersebut juga diakuinya sudah mengurangi sekitar 1.200 pegawai karena terimbas kempisnya stok garam industri di Tanah Air. 

"Ya (niat hengkang). Industri yang memproduksi lensa kontak yang mempunyai cabang di Singapura dan Malaysia. Bahkan sudah mengurangi tenaga kerjanya dari 3.000 orang menjadi 1.800 orang," terangnya. 

Oleh karena itu, Kemenperin berencana menerbitkan rekomendasi impor garam industri pada hari ini. Khususnya untuk industri makanan minuman dan farmasi, serta industri kertas.

"Ya (Senin ini) untuk industri kertas, farmasi, dan makanan minuman yang sudah kritis stok garam industrinya," kata Achmad. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya