AWS Buka-bukaan soal Pasar Asia Tenggara yang Memikat

AWS memiliki banyak layanan, beberapa di antaranya yang sering digunakan pelanggan mulai dari komputasi, storage, jaringan, database, analisis, Artificial Intelligent (AI), Internet of Things alias IoT, mobile dan tool untuk developer.

oleh Jeko I. R. diperbarui 08 Apr 2018, 10:00 WIB
Diterbitkan 08 Apr 2018, 10:00 WIB
Amazon
Head of Southeast Asia Amazon Web Services, Nick Walton di AWS Summit Singapore 2018 yang diadakan di Singapore Expo, Singapura, Rabu (5/4/2018). Liputan6.com/Jeko I.R.

Liputan6.com, Changi - AWS atau Amazon Web Services, mungkin nama ini masih belum terdengar familier. Namun bagi para pelaku Teknologi Informasi di perusahaan besar, AWS sudah begitu menempel di telinga mereka.

Ya, AWS adalah anak usaha raksasa e-Commerce Amazon, yang berfokus pada bisnis Cloud Computing on-demand untuk perusahaan korporasi, startup, hingga pemerintah.

AWS sendiri memiliki banyak layanan, beberapa di antaranya yang sering digunakan pelanggan mulai dari komputasi, storage, jaringan, database, analisis, Artificial Intelligent (AI), Internet of Things alias IoT, mobile dan tool untuk developer.

Di Asia Tenggara, AWS cukup bergerilya. Head of Southeast Asia Amazon Web Services, Nick Walton, mengaku kalau Asia Tenggara memiliki karakteristik unik untuk dijadikan pasar baru AWS.

Menurutnya, lanskap bisnis teknologi dan lainnya di Asia Tenggara itu mirip dengan pasar lain, apalagi Cloud Computing. Ia berkata, preposisi nilainya bersifat reducing cost, mengurangi nilai.

"Customer di Asia Tenggara juga sama dengan customer di AS dan Eropa, mereka menginginkan good value. Cloud Computing dari AWS tentu memiliki good value," kata Nick kepada Liputan6.com dalam wawancara khusus di gelaran AWS Summit Singapore 2018, Singapore Expo, Rabu lalu (6/4/2018).

Nick berpendapat, customer AWS memiliki karakteristik ingin berinovasi. Customer di Asia Tenggara, kata dia, kebanyakan merupakan startup yang membangun bisnis baru. Mereka ingin bereksperimen, ingin berinovasi, dan mencoba hal-hal baru. Mereka mendambakan infrastruktur dan teknologi kelas dunia.

"Saya pikir, demand ini sama dengan Asia Tenggara, apalagi Indonesia. Inilah yang sangat menarik, di Asia Tenggara itu semakin banyak orang connected, mereka go online. Ada empat juta pengguna internet baru tercetak setiap bulannya di Asia Tenggara. Hal inilah yang mendorong para pengembang menciptakan inovasi baru yang setara dengan pengembang Silicon Valley," papar Nick menjelaskan.

"Toh, mereka memiliki akses yang sama untuk menciptakan AI dan Machine Learning. Cloud Computing memegang peran besar dalam pengembangan teknologi, hal inilah yang juga berdampak ke para pengembang Asia Tenggara sehingga menjadi peluang kami untuk berekspansi," tambahnya.

Di mata Nick, Asia Tenggara memiliki optimisme tentang masa depan, di mana mereka juga punya kreativitas, kemampuan, dan semangat entrepreneurship yang menjadikannya sebagai daya tarik di mata dunia.

Di Indonesia sendiri, banyak startup kesehatan yang tertarik untuk menggunakan layanan AWS, salah satunya HaloDoc. Ini menjadi bukti di mana mereka tentu bisa membantu mendorong aktivitas ekonomi dan mengendalikan inklusi finansial ke arah yang lebih baik.

Keunikan lain soal pasar Asia Tenggara, seperti yang Nick ungkap, adalah soal di mana mereka secara tipikal harus berhadapan dengan isu operasional operating dan keterbatasan.

"Nah, di Amazon kami suka dengan tantangan 'fragility' (keretakan). Pasalnya, keterbatasan mendorong inovasi dan kreativitas bagaimana kita bisa menyelesaikan sebuah masalah. Ini yang menjadi salah satu karakteristik pelanggan di Asia Tenggara. Asia Tenggara bisa dibilang agak sedikit tertinggal dengan pasar negara maju lain apalagi AS, tetapi salah satu kesempatan di Asia Tenggara untuk melompat lebih lain adalah dengan belajar dengan pasar negara maju," tandasnya.

Memanfaatkan Sumber Lokal

Amazon
Suasana ajang AWS Summit Singapore 2018 yang diadakan di Singapore Expo, Singapura, Rabu (5/4/2018). Liputan6.com/Jeko I.R.

Nick menekankan, salah satu upaya yang dilakukan AWS untuk bisa berekspansi dengan baik di pasar Asia Tenggara adalah dengan memanfaatkan sumber lokal.

"Amazon adalah perusahaan yang berfokus dengan konsep Customer Focused. Kami sangat berkomitmen untuk membantu memenuhi kebutuhan customer," tutur Nick.

"Karenanya, kami ingin memiliki orang-orang atau SDM lokal yang mengerti konteks bisnis lokal dan hubungan dengan partner dan customer, contohnya dalam Indonesia, tentu ini akan memudahkan kami menciptakan bisnis dan memperkenalkan layanan AWS lebih gampang karena SDM lokal ini," lanjut Nick.

"Itulah kiranya, bisa dibilang kami memiliki filosofi untuk go local demi mengembangkan bisnis, kami juga ingin melihat lebih dalam pasar lokal dari suatu negara di mana kami bisa berekspansi, dan tentunya bisa memberikan manfaat kepada pelanggan baru berdasarkan dari jenis layanan yang kami punya," tambahnya.

Kalau di Jakarta, ungkap Nick, AWS punya banyak customer. Perusahaan juga memiliki peta bisnis yang baik di Indonesia. Memang, Nick mengakui customer lebih banyak di Jakarta, tetapi tidak semua berkumpul di sana, sisanya tersebar ke beberapa kota besar lain di Indonesia.

"Tentu akan ada banyak 'hotspot' yang datang dari kota-kota lain dari Indonesia, entah itu dari inovasi, smart developers, entrepreneurs, dan masih banyak lagi," tutupnya.

PetaBencana dan FinAccel

Amazon
CEO dan pendiri FinAccel Akshay Garg di AWS Summit Singapore 2018 yang diadakan di Singapore Expo, Singapura, Rabu (5/4/2018). Liputan6.com/Jeko I.R.

Soal mitra dan customer, ada beberapa dari Indonesia yang menghadiri AWS Summit Singapore 2018, di antaranya seperti PetaBencana dan FinAccel. Kedua startup ini, menggunakan beberapa jenis layanan dari AWS.

PetaBencana, ambil contoh, adalah startup yang menyediakan platform untuk memberitahukan titik bencana (seperti banjir) lewat peta kepada penggunanya.

Pengguna bisa melaporkan titik bencana secara langsung lewat tagar di media sosial seperti Twitter, dan nantinya akan langsung di-update oleh PetaBencana. Untuk bisa merangkai upaya ini, PetaBencana menggunakan beberapa instrumen dari layanan AWS.

Dr. Matthew Berryman, Managing Director PetaBencana dan Across the Cloud Pty Ltd. Liputan6.com/Jeko I.R."Kami menggunakan beberapa jenis layanan AWS dari pertama kali berdiri, mulai dari Amazon CloudFront, Amazon API Gateway, AWS Lambda, serta Amazon Rekognition. Layanan ini memungkinkan kami merangkum data dan analisis lebih akurat dalam sebuah platform yang real time," kata Dr. Matthew Berryman, Managing Director PetaBencana dan Across the Cloud Pty Ltd.

Berryman mengambil contoh, pihaknya menggunakan AWS Lambda, yakni jenis layanan serverless yang bisa mengoperasikan kode khusus untuk merespons kejadian bencana dan mengatur sumber laporan secara otomatis. Proses pelaporan bencana pun lebih cepat dan bisa diterapkan di peta dalam waktu singkat.

Tak cuma itu, PetaBencana juga memanfaatkan layanan IoT dari AWS yang dilindungi oleh AWS Device Defender dan Shield. Mereka menciptakan perangkat IoT khusus yang diletakkan di kali-kali Jakarta, agar nantinya bisa mengecek ketinggian air saat hujan deras berlangsung.

Sementara untuk FinAcell yang merupakan perusahaan di balik layanan kartu kredit digital Kredivo, mengaku layanan AWS yang digunakan sangat membantu mereka. CEO dan pendiri FinAccel Akshay Garg, juga mengaku menggunakan AWS Lambda.

"AWS memiliki jenis layanan yang baik di pasaran untuk saat ini. Dengan beberapa jenis layanan yang kami gunakan, performa platform Kredivo itu bisa meningkat 30 persen setiap bulan," ujar Garg.

Dengan demikian, Garg menargetkan Kredivo ke depannya bisa menawarkan siklus pendaftaran kartu kredit digital yang seamless, sehingga dapat membantu mendorong Indonesia mencapai titik inklusi finansial yang diharapkan.

(Jek/Isk)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya