Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di Desa Batu Belerang, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Dengan begitu, penantian masyarakat selama 72 tahun untuk mendapat listrik telah terpenuhi.
D‎irektur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur EBTKE, Noor Arifin M mengatakan, PLTMH ini dibangun pada tahun lalu menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Ditjen EBTKE. Pembangkit listrik ini berlokasi di Desa Batu Belerang, Kecamatan Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai dengan kapasitas 35 kilo Watt (kW). Total penerima manfaat dari PLTMH ini sebanyak 70 rumah dan 5 fasilitas umum.
Advertisement
Baca Juga
Pembangunan PLTMH di Desa Batu Belerang merupakan salah satu wujud upaya pemerintah mewujudkan keadilan sosial, melalui pemenuhan dan pemanfaatan energi terbarukan untuk masyarakat di daerah terpencil, terluar, dan terisolir.
"Pesan Pak Menteri dan Pak Dirjen EBTKE agar PLTMH bisa dirawat karena mesinnya bersifat long life atau seumur hidup. Jika ada keluhan, bisa mengontak kami karena masih masa garansi. Untuk merawatnya, bisa melakukan pelatihan, PLTMH bisa diperbaiki sendiri karena mekanik," kata Noor, di Jakarta, Senin (14/5/2018).
‎Saat ini sistem pengoperasian PLTMH dilakukan secara off grid, yang pengelolaannya dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat setempat. Iuran masyarakat untuk operasional pembangkit listrik ini sebesar Rp 30 ribu per keluarga‎.
Secara morfologi, Kabupaten Sinjai merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dengan rasio elektrifikasi sebesar 80 persen, tetapi masih ada daerah yang belum terlistriki.
"Keadaan Desa Batu Belerang sebelumnya hanya diramaikan dengan suara burung. Tapi Alhamdulillah sekarang sudah menikmati listrik, setelah 72 tahun Indonesia merdeka," ungkap Kepala Desa Batu Belerang, Ahmad.
‎Plt. Bupati Sinjai, Andi Anwar mengungkapkan, meskipun pembangunan PLTMH perlu investasi yang cukup besar, nilai ekonominya sangat dirasakan masyarakat. Saat ini Kabupaten Sinjai sudah menikmati 4 unit PLTMH.
"Pembangunan pembangkit listrik ini memberikan manfaat khususnya membangun hubungan positif antara hutan dan masyarakat," tandasnya.
DEN: RI Tak Akan Bangun Pembangkit Nuklir hingga 2050
Wacana penggunaan bahan bakar nuklir dalam mengatasi kebutuhan listrik Indonesia masih pro dan kontra. Salah satu yang disorot adalah soal penerimaan masyarakat (public acceptance) yang masih menjadi kendala serius dalam membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir(PLTN).Â
Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro mengatakan, rencana pembangunan PLTN harus mempertimbangkan banyak aspek. Tidak hanya teknis, tetapi juga aspek lainnya seperti sosial dan ekonomi masyarakat.
Dia mencontohkan, studi kasus rencana pembangunan pembangkit nuklirdi Gunung Muria yang mendapat penolakan kuat dari publik, menyebabkan rencana tersebut tidak dapat dieksekusi. Pascagempa Fukushima sebaiknya kehati-hatian dan studi komprehensif menjadi pijakan utama pemerintah untuk memutuskan langkah selanjutnya.
"Dulu Dirjen kita dikejar-kejar sama masyarakat Muria dan ternyata Gunung Muria sering terjadi gempa. Akhirnya, diputuskan dibatalkan," ujar dia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (11/5/2018).
Terkait wacana pembangunan PLTN di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), Purnomo mengingatkan agar pemerintah tidak tergesa-gesa. Posisi nuklir dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebagai opsi terakhir juga penting dipegang. Peran serta masyarakat menjadi kunci bagi penerimaan kebijakan energi ke depan.
"Belajar dari pengalaman, bikin tim untuk FGD. Dari sisi kebijakan melihat posisi pembangkit nuklir dalam KEN yang ujung-ujungnya sosialisasi kembali dengan masyarakat," kata dia.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional ‎(DEN), Saleh Abdurrahman mengungkapkan, pembangunan PLTN tidak akan dilakukan hingga 2050. Hal ini mengingat PLTN adalah pilihan terakhir dalam rencana umum energi nasional (RUEN).
"PLTN memang pilihan terakhir, kita maksimalkan dulu potensi energi terbarukan yang kita miliki. Dan di seluruh Indonesia tidak ada sampai 2050," ungkap dia.
Selain karena bukan prioritas, faktor ekonomi juga menjadi bahan pertimbangan untuk melaksanakan proyek PLTN ini.
"Biaya pembangkitan nuklir per kwh itu termasuk mahal. Apalagi ditambahi biaya-biaya risiko kecelakaan, tambah membengkak dia," lanjut dia.
Menurut Saleh, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang banyak. Contohnya, potensi matahari dan angin belum dimanfaatkan sebesar-besarnya.Â
Saleh menyatakan dirinya mendukung penggunaan energi terbarukan dan mendorong daerah-daerah untuk mengembangkan energi terbarukan, selain minim risiko juga lebih murah daripada nuklir.
"Tren harga energi terbarukan semakin menurun, tren nuklir semakin tahun semakin naik," tandas dia.
Advertisement