Lindungi Daya Saing Industri Kelapa Sawit, RI-India Teken MoU

MoU ini menegaskan keberadaan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan India National Palm Oil Sustainability Framework (IPOS).

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Jul 2018, 14:15 WIB
Diterbitkan 16 Jul 2018, 14:15 WIB
20160304-Kelapa Sawit-istock
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) antara Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Solvent Extractors Association (SEA) India, dan Solidaridad Network Asia Limited (SNAL), di Kantornya, Jakarta.

MoU ini menegaskan keberadaan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan India National Palm Oil Sustainability Framework (IPOS) sebagai kerangka keberlanjutan dalam produksi minyak sawit dan perdagangan antara kedua negara.

Menko Darmin mengatakan, melalui kerjasama antara SEA, DMSI, dan SNAL akan memperkuat hubungan Indonesia dan India di bidang minyak nabati dan turunannya.

“Kolaborasi ini akan berlanjut lama dan menjadi solusi menguntungkan bagi kedua negara yang juga sejalan dengan komitmen pemimpin kedua negara," jelas Menko Darmin di Jakarta, Senin (16/7/2018).

Sementara itu, Presiden Solvent Extractors Association (SEA) India, Atul Chaturverdi menuturkan MoU ini akan membuka jalan bagi keberlanjutan sektor perdagangan minyak sawit yang berkelanjutan dalam jangka panjang di kawasan Asia.

"Saya yakin bahwa sinergi antara ISPO dan IPOS secara bersama-sama akan melindungi daya saing industri kelapa sawit, meningkatkan kesiapan menghadapi permintaan pasar di masa depan, dan memenuhi komitmen nasional terhadap produksi dan perdagangan kelapa sawit yang berkelanjutan," jelas dia.

Seperti diketahui bahwa Indonesia saat ini merupakan produsen kelapa sawit terbesar dunia dengan area sekitar 14,3 juta ha dan produksi sekitar 40 juta ton. Kelapa sawit merupakan sumber minyak nabati dalam pemenuhan kebutuhan kosumsi masyarakat, baik dalam bentuk minyak goreng dan produk hilir lainnya, maupun dalam bentul bionergi (biofuel).

Selain penandatangan MoU, para delegasi juga akan mendiskusikan sejumlah isu yang berkaitan dengan masalah perdagangan minyak sawit Indonesia-India, sinergi kerangka keberlanjutan ISPO dengan IPOS, serta pengembangan rodmap kerjasama ke depannya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Menko Darmin: Tarif Bea Masuk CPO India Bagian Politik Perdagangan

20160308-Ilustrasi-Kelapa-Sawit-iStockphoto
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Pemerintah menilai kebijakan India yang terapkan tarif bea masuk minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/cpo) asal Indonesia merupakan salah satu langkah politik perdagangan India.

India menerapkan tarif bea masuk CPO asal Indonesia hingga 44 persen dan produk turunannya sebesar 54 persen. Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. Ia menuturkan, langkah India tersebut mengingat telah alami defisit akibat banyaknya CPO asal Indonesia yang masuk ke India.

"Iya itu memang  bagian dari politik perdagangan karena akibat ekspor kelapa sawit kita banyak ke sana, dia (India-red) defisitnya besar. Jadi mulai cari bagaimana caranya (dengan menaikan bea masuk)," kata Menko Darmin saat ditemui di Kantornya, Jakarta, Senin (16/7/2018).

Darmin mengatakan, dengan ada kebijakan bea masuk tersebut, otomatis akan berpengaruh terhadap Indonesia. "Tentu ada pengaruhnya. Iya buat kita ada pengaruhnya harga palm minyak goreng dari palm oil kita mulai naik harganya di sana tentu saja ada pengaruhnya tidak berarti tidak berarti mereka mengambil langkah-langkah seperti di Eropa untuk menghambat secara non tarif itu enggak," ujar dia.

Seperti diketahui, India menaikkan bea masuk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dari 30 persen menjadi 44 persen dan minyak sawit olahan (refined palm oil) dari 40 persen menjadi 54 persen tidak diberlakukan pada impor minyak nabati lain seperti soybean dan sunflower oil.

Sebelumnya, Wakil Ketua Umum III Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Urusan Perdagangan dan Keberlanjutan, Togar Sitanggang mengatakan, kenaikan tersebut dinilai tidak adil mengingat berbagai produk nabati lain yang tidak dikenakan kenaikan bea masuk.

"Kita dari bisnis juga minta diturunin karena itu kenaikan terakhir hanya CPO dan turunan yang naik. Sementara soybean dan  sunflower itu tidak naik. Ini kalau tidak salah kenaikan yang ketiga kali. Pertama dan kedua sama-sama naik, CPO, sunflowerdan soybean. Dulu juga begitu, tapi yang ketiga hanya CPO yang naik," kata dia ketika ditemui, di Hotel Shangrila, Jakarta.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya