Cara PLN Tutupi Kerugian Jual Listrik di Wilayah Pedalaman

Masyarakat di wilayah timur seperti Papua tetap membayar tarif listrik sekitar Rp 450 per kWh, untuk golongan pelanggan 450 volt ampere (VA) dan VA.

oleh Septian Deny diperbarui 25 Jul 2018, 10:47 WIB
Diterbitkan 25 Jul 2018, 10:47 WIB
Ilustrasi tarif Listrik Naik (2)
Ilustrasi tarif Listrik Naik (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta PT PLN (Persero) menyatakan biaya pokok produksi (BPP) listrik di wilayah Indonesia timur, khususnya wilayah pedalaman, jauh lebih mahal ketimbang tarif listrik yang harus harus dijual ke masyarakat. Hal ini membuat perusahaan plat merah tersebut harus memutar otak untuk menutupi BPP tersebut.

Direktur Bisnis Regional Maluku dan Papua PT PLN (Persero) Ahmad Rofik mengatakan, masyarakat di wilayah timur seperti Papua tetap membayar tarif listrik sekitar Rp 450 per kWh, untuk golongan pelanggan 450 volt ampere (VA) dan VA. Tarif ini sama dengan yang diterapkan di seluruh Indonesia.

"Sekarang masyarakat menggunakan pakai aturan pemerintah, kalau 900 VA ke bawah tidak sampai Rp 450 per kWh," ujar dia di Merauke, Papua, Rabu (25/7/2018).

Padahal, lanjut dia, BPP listrik di wilayah timur Indonesia mencapai Rp 3.000. Dan PLN hanya mendapatkan subsidi dari pemerintah untuk dua golongan pelanggan ini sekitar Rp 1.000 per kWh.

‎"Kita dapat subsidi. Tapi biaya produksinya lebih dari itu. Jadi kalau BPP kita kurang lebih Rp 3.000 per kWh. Kita dapat dari masyarakat dan subsidi sekitar Rp 1.400. Berarti ada sekitar Rp 1.500 yang masih selisih," kata dia.

Untuk mengatasi hal selisih biaya yang harus ditanggung, PLN menerapkan sistem subsidi silang. Tarif listrik yang dibayar di wilayah yang surplus digunakan untuk menutupi BPP di wilayah yang masih defisit seperti di wilayah timur.

‎"Itu yang kita sebut sebagai subsidi silang. Kalau di Jawa dan Sumatera sudah ada yang positif (untung). Keuntungan di barat disubsidi silang ke pedesaan. Kalau lihat di beberapa daerah memang masih rugi, di wilayah timur ini memang yang disetujui rugi. Tapi di barat enggak boleh, biar ada subsidi silang. Biar mengimbangi," jelas dia.

Rofik juga menyatakan, kerugian yang dialami PLN di Indonesia timur tidak berdampak keuangan perusahaan secara keseluruhan. Agar tetap mendapatkan untung, PLN melakukan efisiensi di berbagai lini.

"Kalau lihat keuangan kita sekarang semakin lama semakin membaik. Dari 2015 sampai 2019 tarif tidak naik. Itu untuk perusahaan yang bergerak dengan kondisi as usual itu pasti collapse, karena bicara inflasi, kurs, kenaikan harga bahan bakar. Tapi dengan melakukan banyak efisiensi, termasuk banyak terobosan salah satunya bahan bakar kalau batu bara pakai DMO, investasi sudah kita hemat. Kita juga melakukan optimasi di berbagai lini, sehingga kita masih bisa survive. Tahun lalu kan kita masih bisa untung. Itu saja suatu effort yang luar biasa besar," jelas dia.

‎Namun menurut dia, sebagai perusahaan PLN tetap harus mendapatkan keuntungan. Keuntungan tersebut yang nantinya bisa digunakan untuk membangun infrastruktur di wilayah pedalaman dan terpencil.

"Memang sebagai BUMN kita harus untung, tidak boleh rugi. Kenapa harus untung? Karena kita harus jaga operasional kita, biar sustain. Kalau ada untung kita bisa membangun, meningkatkan kualitas. Kalau tidak untung, kita tidak bisa membangun, tidak bisa investasi," tandas dia.

 

 

Kini Warga Kampung Enem Nikmati Terangnya Lampu di Malam Hari

(Foto:Liputan6.com/Septian Deny)
Masyarakat Kampung Enem, Papua kini bisa nikmati akses listrik (Foto:Liputan6.com/Septian Deny)

Masyarakat Kampung Enem, Kabupaten Mappi, Merauke, Papua kini bisa menikmati akses listrik. Penyambungan listrik itu ada usai PT PLN (Persero) meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 100 kWp di kampung tersebut.

Maria Bapaemu (57) salah satu warga Kampung Enem mengatakan, dirinya bersama anak dan suami telah tinggal lebih dari 20 tahun di kampung tersebut tanpa akses listrik dan penerangan yang memadai.

Saat malam, Maria dan warga lain di kampung tersebut hanya mengandalkan penerangan yang berasal dari lampu minyak, yang biasa disebutnya dengan pelita.

"Tidak ada lampu. Pakai pelita. (Televisi) tidak ada. Sudah 20 tahun lebih," ujar dia di Kampung Enem, Papua, Selasa (24/7/2018).

Hal yang sama diungkapkan oleh Saravina, anak Maria Bapaemu yang duduk di kelas 1 SMPN Sotoba. Saravina mengaku sulit untuk belajar pada malam hari karena tidak adanya penerangan yang memadai.

"(Kalau belajar malam hari) pakai pelita, senter. (Belajar siang hari saja?) Iya," kata dia.

Namun dengan ada PLTS dan listrik yang dialirkan kepada masyarakat sekitar, kini Maria Bapaemu dan Saravina bisa lebih banyak beraktivitas di dalam rumah pada malam hari.  "Senang, sudah lama gelap, hari ini baru terang," ujar dia.

 Tonton Video Menarik Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya