Pekerja Konstruksi Bersertifikat bakal Kantongi Gaji Lebih Besar

Kementerian PUPR juga kembali menyatakan akan menindak tegas pihak penyedia jasa konstruksi yang mempekerjakan petugas yang tidak memiliki sertifikat kerja resmi.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 30 Jul 2018, 18:46 WIB
Diterbitkan 30 Jul 2018, 18:46 WIB
Tenaga Kerja Konstruksi Bersertifikat di Indonesia Masih Minim
Pekerja menyelesaikan pembangunan proyek gedung di Jakarta, Jumat (20/7). Dirjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR Syarif Burhanuddin mengatakan, Indonesia kekurangan tenaga kerja konstruksi bersertifikat dan berijazah. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terus mempelopori keberadaan pekerja konstruksi bersertifikat. Iming-iming pendapatan lebih besar pun ditawarkan bagi karyawan yang telah resmi menyandang sertifikat kerja.

Sebaliknya, Kementerian PUPR juga kembali menyatakan akan menindak tegas pihak penyedia jasa konstruksi yang mempekerjakan petugas yang tidak memiliki sertifikat kerja resmi.

Direktur Jendral Bina Konstruksi Kementerian PUPR Syarif Burhanudin mengatakan, penyedia jasa diwajibkan untuk memakai tenaga ahli yang bersertifikat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

"Kalau didapati ada yang tidak bersertifikat, mereka akan dapat sanksi. Sanksi terberat, perusahaan itu akan di-blacklist dan dicabut izin kerjanya sebagai kontraktor atau tenaga konsultan," jelas dia di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang, Jakarta, Senin (30/7/2018).

Adapun dia menyampaikan, jumlah pekerja konstruksi yang bersertifikat saat ini memang terbilang masih minim, yakni sekitar 10 persen. Menindaki hal tersebut, Kementerian PUPR akan menjemput bola dengan memberikan pelatihan dan sertifikasi tenaga kerja di area yang sedang marak kegiatan konstruksi.

"Kita sadar, pembangunan konstruksi tidak akan pernah berhenti. Bahkan tahun ini meningkat 3-4 kali lipat. Sekarang ini, 2018, sudah 4 kali lipat. Konsekuensinya, kita butuh tenaga kerja, tapi kekurangan," ungkapnya.

Syarif juga menyebutkan, tenaga kerja konstruksi yang telah mendapatkan sertifikat akan memiliki standar kesejahteraan yang berbeda. Sebab, tambahnya, nominal upah yang didapatkan bakal lebih besar.

"Nanti, yang bersertifikat akan memiliki standar kesejahteraan yang lebih tinggi. Soalnya pemberian gajinya pun berbeda dengan yang tidak memiliki," tukas dia.

Proyek Infrastruktur Ditunda, Tenaga Kerja Konstruksi Masih Dibutuhkan

Tenaga Kerja Konstruksi Bersertifikat di Indonesia Masih Minim
Sejumlah pekerja menyelesaikan pembangunan proyek gedung di Jakarta, Jumat (20/7). Dari 8,1 juta orang tenaga kerja konstruksi hanya tujuh persen yang memiliki sertifikat dan ijazah. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Wacana seputar pemberhentian sementara sejumlah proyek infrastruktur demi menjaga defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) saat ini terus bergulir. Itu dikarenakan impor bahan baku dan barang modal yang dipakai untuk pembangunan infrastruktur terbilang sangat besar.

Namun begitu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Bina Konstruksi menyatakan, kebutuhan tenaga kerja konstruksi dalam bentuk Sumber Daya Manusia (SDM) tetap harus ditingkatkan meski banyak Proyek Strategis Nasional (PSN) yang nantinya harus ditunda.

Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Syarif Burhanudin, menyebutkan, keberadaan tenaga kerja konstruksi bersertifikat yang dimiliki negara saat ini masih terlalu kecil sehingga harus terus diperbanyak.

"Tetap dibutuhkan. Karena kita sangat sedikit sekali yang memiliki sertifikat, belum sampai 10 persen," kata Syarif Burhanudin di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang, Jakarta, Senin (30/7/2018).

Sebab menurutnya, kebutuhan konstruksi infrastruktur tidak hanya berasal dari pemerintah yang menguras kantong Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dia mengatakan, banyak kegiatan konstruksi non-APBN yang dilakukan pihak swasta.

"Itu juga butuh tenaga kerja, bahkan di luar negeri pun butuh tenaga kerja konstruksi. Kalau kita bisa menghasilkan tenaga kerja berkualitas kan bisa menjadi tenaga kerja yang digunakan di luar negeri," ujar dia.

Dia pun menceritakan pengalaman ketika Bebe apa hari lalu mengunjungi Boyolali, Jawa Tengah. Di sana, ia mengakui melihat adanya pelatihan tenaga konstruksi yang melibatkan warga binaan, dan telah berlangsung selama 9 angkatan.

"Angkatan kedua dan ketiganya kini sudah bekerja di Arab Saudi. Itu jadi bukti tenaga kerja kita bisa dikirim ke luar negeri, tidak hanya untuk proyek infrastruktur dalam negeri saja," pungkas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya