Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tony Prasetiantono mengatakan krisis Turki memberikan sinyal bahwa Indonesia mesti lebih hati-hati dengan rencana redenominasi rupiah. Sebelumnya, negara ini dikenal sebagai success story redenominasi mata uang.
"Dengan kejadian Turki, Indonesia kita harus hati-hati tentu mengevaluasi kembali redenominasi. Meskipun saya tahu kondisi kita berbeda dengan Turki. Turki kita anggap yang sukses melakukan redenominasi. Pada tahun 1990, 1 USD lebih dari 100.000 lira. Kemudian dia berhasil redenominasi," ungkapnya saat ditemui dalam diskusi yang diselenggarakan Jalan Media Communication (JMC), di Jakarta, Selasa (14/8/2018).
Advertisement
Baca Juga
Meskipun berhasil melakukan redenominasi, Lira Turki kemudian tidak kokoh ketika menghadapi gejolak perekonomian global yang muncul. Hal itu tampak dari terlalu dalamnya depresiasi Lira terhadap dolar AS.
"Itu sebenarnya mencerminkan bahwa Lira Turki sebelumnya mengalami over valued, terlalu mahal, tidak sesuai dengan kinerja ekonomi. Maka barang Turki jadi tidak kompetitif, sehingga mereka mengalami yang namanya current account defisit. Lira yang terlalu mahal itu akan terkoreksi," jelasnya.
Karena itu, krisis Turki memberi masukan khusus kepada Indonesia agar memperhatikan banyak aspek sebelum melakukan redenominasi rupiah, terutama keandalan stabilitas ekonomi.
"Kita melakukan bench marking Turki sebagai salah satu kisah sukses, tapi belum tentu kita akan alami seperti Turki juga. Redenominasi tetap harus kita lakukan di masa depan tapi dengan kasus ini kita perlu berhati hati karena redenominasi membutuhkan banyak syarat, terutama stabilitas ekonomi," kata dia.
Â
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Fundamental Harus Bagus
Pemerintah tentu perlu didukung untuk melakukan redenominasi rupiah. Namun, syarat-syarat fundamental seperti stabilitas nilai tukar rupiah harus dipenuhi lebih dulu.
"Misalnya soal kurs rupiah. Jadi stabil dulu baru diredenominasi. Inflasi rendah. Pertumbuhan ekonomi cukup baik, artinya di atas 5 persen, tapi selama beberapa tahun baru kita merasa stabil," ujar Tony.
"Lalu kesiapan masyarakat. Jangan sampai diartikan salah. Tidak gampang lakukan sosialisasi. Kita jumlah penduduk lebih banyak, kita tinggal di banyak pulau. Jadi (redenominasi) harus lebih terukur, dengan sequence yang jelas supaya tidak ulangi yang seperti yang dialami Turki," tandasnya.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Advertisement