Lira Turki Anjlok Seret Mata Uang Negara Berkembang Tertekan

Mata uang Turki lira anjlok membuat investor khawatir sehingga menjual mata uang negara berkembang lainnya.

oleh Agustina Melani diperbarui 13 Agu 2018, 20:28 WIB
Diterbitkan 13 Agu 2018, 20:28 WIB
Rupiah Tembus 14.600 per Dolar AS
Petugas melayani nasabah di gerai penukaran mata uang di Ayu Masagung, Jakarta, Senin (13/8). Pada perdagangan jadwal pekan, senin (13/08). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh posisi tertingginya Rp 14.600. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Mata uang Turki lira anjlok membuat investor khawatir sehingga menjual mata uang negara berkembang lainnya.

Mata uang Turki lira koreksi lebih dari 40 persen sepanjang 2018 karena kekhawatiran terhadap penanganan ekonomi Turki yang overheating dan perselisihan dengan Amerika Serikat (AS).

Namun, kekhawatiran aksi jual di lira telah memukul aset pasar di seluruh dunia termasuk mendorong mata uang negara berkembang ke posisi terendah.

Mata uang Afrika Selatan yaitu rand juga paling terkena dampaknya. Rand turun lebih dari 10 persen hingga kembali pulih ke posisi 14,51 terhadap dolar AS.

Selain itu, rupee India melemah ke titik terendah sepanjang masa di posisi 69,62 per dolar AS pada awal perdagangan. Demikian mengutip laman CNBC, Senin (13/8/2018).

Reuters juga melaporkan, rupiah sentuh level terendah hampir tiga tahun hingga akhir Bank Indonesia (BI) intervensi untuk memperkuat rupiah.

Berdasarkan data Bloomberg, rupiah menguat ke posisi 14.608 pada Senin sore. Akan tetapi, rupiah cenderung melemah dibandingkan pembukaan di posisi 14.579 terhadap dolar Amerika Serikat. Sepanjang Senin pekan ini, rupiah bergerak di posisi 14.544-14.617 per dolar AS.

VP Sales and Marketing PT Ashmore Assets Management Indonesia, Angganata Sebastian menuturkan, tekanan terhadap rupiah juga didorong dari defisit neraca transaksi berjalan mencapai USD 8 miliar atau tiga persen terhadap produk domestik brutp (PDB) pada kuartal II 2018. Angka itu lebih tinggi dari harapan pelaku pasar sekitar USD 7,8 miliar.

Meski demikian, ia optimistis neraca transaksi berjalan akan membaik. Hal itu karena defisit neraca transaksi berjalan melebar pada kuartal II 2018 didorong faktor musiman.

"Alasan yang mendasari adalah Juni memang konsumsi relatif tinggi secara ada Ramadan dan Lebaran. Ini membuat impor pasti naik. Selain itu, Juni biasa ada dividen repatriasi yang membuat permintaan terhadap dolar Amerika Serikat juga tinggi,” ujar Angganata saat dihubungi Liputan6.com.

Angganata optimistis rupiah dapat kembali menguat ke depan. Hal itu mengingat nilai tukar rupiah melemah karena dolar AS yang menguat bukan faktor fundamental.

Hal senada dikatakan Head of Equity PT Samuel International Harry Su. Defisit transaksi berjalan capai tiga persen pada kuartal II 2018 menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

"Biasanya fund managers asing ingin defisit transaksi berjalan harus di bawah dua persen. Lebih bagus lagi kalau surplus,” kata dia.

Ia menambahkan, untuk atasi defisit neraca transaksi berjalan harus menekan impor.  "Ekonomi harus melamban sehingga impor menurun," tutur dia.

 

 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

Mata Uang Turki Tertekan

Menang Pemilu Turki, Erdogan Sapa Ribuan Pendukung di Ankara
Ribuan pendukung Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) berkumpul untuk merayakan terpilihnya kembali Recep Tayyip Erdogan sebagai presiden, Ankara, Turki, Senin (25/6). (Presidency Press Service via AP, Pool)

Pada Senin waktu setempat, lira diperdagangkan turun terhadap dolar AS ke posisi 6,78. Sebelumnya lira turun ke level terendah baru sepanjang sejarah di kisaran 7,24.

Lira sedikit naik usai Bank Sentral Turki meningkatkan likuiditas selama perdagangan di Asia. Bank Sentral akan memonitor pasar dan harga untuk menjaga kestabilan.

Pemerintah Turki akan keluarkan surat utang dengan tenor 91 hari sebagai diversifikasi instrumen pinjaman dan mendukung pasar keuangan.

"Masalah Turki cukup idiosyncratic dan harus relatif terkendali," ujar Analis Deutsche Bank Jim Reid.

Namun, sejumlah ahli mengingatkan situasi volatilitas yang disebabkan bank-bank sentral utama yang menarik stimulus luar biasa.

Di bursa saham, indeks Turkey’s Bist 100 di Turki mencapai level terendah dalam dolar Amerika Serikat terendah sejak 2009. Hal itu didorong saham-saham perbankan.

Di Eropa, saham tiga bank terbesar antara lain Unicredit, BBVA, dan BNP Paribas tertekan seiring kekhawatiran meningkat akibat lira tertekan apa dampaknya terhadap pembayaran utang mata uang asing.

Ekonomi Turki dipandang sangat rentan karena tingginya tingkat utang yang dihargai dalam dolar AS.

Semakin banyak lira melemah, semakin mahal utang itu. Perkiraan terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan jumlah total utang Turki yang dibayarkan dalam mata uang lainnya lebih dari 50 persen dari produk domestik bruto (PDB).

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya