Liputan6.com, Jakarta - Tren pelemahan rupiah diprediksi masih akan terus berlanjut hingga akhir akhir tahun nanti. Hal tersebut dipicu lantaran adanya rencana kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) atau The Fed Rate sekitar 25 basis poin.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bima Yudhistira menuturkan, indikasi lain yang menyebabkan rupiah akan terus melemah yakni karena kenaikan acuan The Fed yang naik berbalikan dengan yield obligasi AS tenor 10 tahun turun menjadi 2,88 persen per 6 September 2018.
Prediksi ini, kata Bima sesuai dengan teori Inverted Yield Curves, di mana yield surat utang AS jangka panjang menurun sedangkan yield jangka pendek naik. "Artinya, ekspektasi investor dalam jangka pendek khawatir adanya market crash, dan lebih memilih membeli surat utang yang bertenor jangka panjang. Inverted Yield Curves menjadi indikator pra-krisis global sejak tahun 1970-an," ungkap Bima di Jakarta, Minggu (9/9/2018).
Advertisement
Baca Juga
Bima menyebut, kondisi ini justru berbeda dari dalam negeri, di mana berbanding terbalik dengan yield obligasi AS tenor 10 tahun. Yield SBN 10 tahun terus mengalami kenaikan menjadi 8,69 persen. Yield yang naik di Negara berkembang itu mencerminkan tingkat risiko berinvestasi semakin besar, apalagi Indonesia masuk ke dalam fragile five atau 5 negara paling rentan terpapar krisis.
"Konsekuensinya pelaku pasar masih melanjutkan flight to quality, beralih ke aset yang lebih aman salah satunya greenback (dolar). Indikator USD index berada pada level 95,3 atau naik 3,5 persen sejak awal tahun 2018. Kenaikan indeks dolar jadi indikasi tren super dolar akan berlanjut hingga akhir tahun," ungkap Bima.
Sementara itu, di sisi lain ancaman perang dagang kembali memanas setelah Trump kembali mengancam kenaikan tarif senilai USD 267 miliar barang asal China. Efek berlanjutnya perang dagang tersebut, berpengaruh signifikan terhadap penurunan kinerja neraca perdagangan Indonesia.
"Hingga Juli 2018, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit hingga USD 3 miliar," imbuhnya.
Sentimen cadangan devisa juga berpengaruh terhadap perilaku pasar. Cadangan devisa per Agustus 2018 anjlok ke USD 117,9 miliar, terendah sejak Januari 2017. Penurunan cadangan devisa disebabkan oleh intervensi Bank Indonesia untuk stabilisasi nilai tukar rupiah.
"Gejolak rupiah yang mengalami eskalasi menguras cadangan devisa secara konsisten. Perlu dicatat cadangan devisa dibanding PDB Indonesia hanya 14 persen jauh di bawah Negara peers, Filipina 26 persen dan Thailand 58 persen," pungkasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com