Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar Dolar Amerika Serikat (USD) diprediksi akan tetap perkasa pada 2019. Demikian pula dengan kondisi perekonomian global bakal melambat.
Langkah menghadapi ini, Bank Indonesia mencoba mengambil sikap konservatif dengan berhati-hati menjaga nilai tukar rupiah.
Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara menjelaskan, pertumbuhan ekonomi global dan negara maju seperti Amerika Serikat pada tahun depan diperkirakan mulai agak melambat dari tahun sebelumnya.
Advertisement
"Jadi kalau kita lihat 2018 itu pertumbuhan ekonomi dunia 3,9, persen dan diproyeksikan turun 3,7 persen pada 2019. Yang membuat turun tapi itu angkanya bukan yang jelek loh ya. Itu penyebabnya karena Amerika Serikat yang pertumbuhan ekonominya naik 2,9 persen 2018, kemudian mulai turun ke 2,6 persen 2019," terangnya dalam forum ILUNI FEB UI di Graha Niaga, Jakarta, Jumat (16/11/2018).
Mirza juga menganalisis, perlambatan roda ekonomi Amerika Serikat ini turut diikuti negara dan kawasan besar dunia lainnya seperti Eropa, Jepang dan China. Pertumbuhan di Eropa akan mulai melambat meski suku bunganya belum naik dan belum dilakukan pengetatan.
Begitu juga dengan Jepang, yang menukik dari 1,8 persen pada 2017 menjadi hanya 1,1 persen 2019, serta China sebagai negara ekonomi kedua terbesar di dunia yang turun dari 6,9 persen 2017 jadi 6,3 persen 2019.
Di tengah kemungkinan perlambatan tersebut, ia menyatakan, kenaikan suku bunga The Fed diprediksi masih belum selesai.
"Desember nanti most likely naik dari 2,25 persen ke 2,5 persen. Tahun depan The Fed bilang naik tiga kali jadi 3,25 persen, tapi market enggak percaya. Ah cuman naik satu atau dua kali," jelas dia.
"Awal tahun 2018 juga terjadi begitu, The Fed bilang naik empat kali market bilang dua kali. Yang benar The Fed, tetap naik empat kali market-nya kemudian menyesuaikan diri, itu terjadi penguatan dolar. Jadi tahun 2019 walaupun ekonominya melambat tapi kenaikan suku bunga Amerika Serikat akan terus, apakah tiga kali atau dua kali," tambah dia.
Demi menindaki tren ini, Mirza menyampaikan, pihaknya akan coba berhati-hati dalam mengambil arah kebijakan terkait suku bunga acuan.
"Bank Indonesia ambil conservative stance bahwa kemungkinan The Fed menaikan sampaikan tiga kali. Sehingga kita harus tetap prudent," ujar dia.
Pelemahan Rupiah Tak Setajam Mata Uang Negara Lain
Bank Indonesia (BI ) mencatat pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sudah sesuai dengan mekanisme pasar.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan, pada kuartal III 2018 rupiah mengalami depresiasi. Namun kemudian pada November 2018 kembali menguat.
"Secara point to point, rupiah melemah sebesar 3,84 persen pada kuartal III 2018 dan 1,98 persen pada Oktober 2018 akibat ketidakpastian ekonomi global," kata Perry di kantornya, Kamis (15/11/2018).
Pada November 2018, rupiah menguat dipengaruhi aliran masuk modal asing dipicu kondisi perekonomian domestik yang tetap kondusif dan kebijakan pendalaman pasar keuangan.
Baca Juga
"Selain itu juga ada pengaruh sentimen positif dari hasil pemilu di AS dan sempat meredanya ketegangan dagang antara AS dan China," ujarnya.
Aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik terjadi pada semua jenis aset, termasuk ke pasar saham.
Dengan perkembangan tersebut, sampai 14 November 2018, secara year to date (ytd) Rupiah terdepresiasi 8,25 persen atau lebih rendah dari Turki, Afrika Selatan, India, dan Brazil.
"Ke depan, Bank Indonesia terus mewaspadai risiko ketidakpastian pasar keuangan global dengan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya, serta menjaga bekerjanya mekanisme pasar dan didukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan," tutupnya.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber:Â Merdeka.com
Advertisement