Sawit Indonesia Masih Diboikot, Menko Luhut Kembali Lobi Eropa

Uni Eropa berkomitmen untuk mendukung upaya Indonesia mencapai target minyak kelapa sawit yang berkelanjutan.

oleh Merdeka.com diperbarui 07 Des 2018, 14:43 WIB
Diterbitkan 07 Des 2018, 14:43 WIB
20160308-Ilustrasi-Kelapa-Sawit-iStockphoto
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah terus berupaya agar produk minyak sawit atau crued palm oil (CPO) Indonesia tak lagi mendapatkan hambatan ekspor ke Eropa. Diketahui saat ini, masih ada sejumlah negara Eropa yang menolak CPO Indonesia.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan bahwa dia akan kembali melobi negara-negara Eropa.

"Nanti kami lobi. Saya akan ke Polandia salah satu tugas saya untuk meyakinkan mereka. Minggu depan," kata dia, seperti ditulis Jumat (7/12/2018).

Mantan Menko Polhukam ini menjelaskan, alasan utama negara-negara Eropa menolak ekspor CPO Indonesia masih seputar isu lingkungan. "Mereka lingkungan. Padahal kita sudah bilang moratorium," jelas dia. 

Karena itu, dalam pembicaraan nanti, Luhut akan kembali memaparkan upaya yang sudah Indonesia dalam membenahi sektor industri sawit. Dia juga akan menekan pentingnya sawit bagi perekonomian Indonesia, khususnya dalam pengentasan kemiskinan.

"Kami juga tidak bikin pelebaran tapi kami memperbaiki yang 41 persen yang punya small holders, kemudian ini kaitannya dengan SDGs. Nomor satu masalah kemiskinan, dan seterusnya. Jadi mereka harus tau juga itu," tandasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Uni Eropa Dukung RI Capai Target Minyak Kelapa Sawit Berstandar Global

20160308-Ilustrasi-Kelapa-Sawit-iStockphoto
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Sebelumnya, Uni Eropa berkomitmen untuk mendukung upaya Indonesia mencapai target minyak kelapa sawit yang berkelanjutan dan berstandar dunia pada 2020. Salah satu kuncinya, kata Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend, adalah dengan membawa standarisasi kualitas sawit RI ke level global.

"Sekarang kuncinya adalah membawa standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ke level global, sehingga (sawit Indonesia) akan dipertimbangkan oleh calon konsumen baru," kata Guerrend kepada sejumlah jurnalis di Jakarta, Rabu (4/12/2018).

Konsumen Eropa, yang memiliki kepedulian tinggi terhadap industri yang berdampak besar terhadap kelestarian lingkungan dan pemanasan global, perlu meyakini bahwa sertifikat ISPO cukup kredibel untuk mencegah deforestasi dan degradasi keanekaragaman hayati, lanjut Guerrend. 

Prinsip-prinsip keberlanjutan menjadi penting bagi konsumen Eropa yang merupakan importir terbesar kedua minyak sawit Indonesia setelah India.

Belanda adalah negara Eropa terbesar pengimpor kelapa sawit dari negara pemasok utama seperti salah satunya Indonesia. Di belakang Negeri Tulip, ada Spanyol, Jerman, Italia dan Belgia sebagai pengimpor CPO (crude palm oil) terbesar.

Guerend menegaskan bahwa konsumsi atas minyak sawit akan tetap tinggi karena komoditas tersebut adalah elemen kunci dari banyak produk makanan dan kosmetik.

Tetapi, secara objektif, masyarakat Eropa akan memilih minyak kelapa sawit yang diproduksi secara bertanggungjawab.

"Indonesia berkomitmen meningkatkan standar keberlanjutan dalam industri minyak sawit. Kami percaya pasokan akan memenuhi permintaan, begitu pula sebaliknya, permintaan dapat dicocokkan dengan pasokan," tambah Guerend, seperti dikutip dari Antara.

Sejumlah kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia, seperti moratorium izin perkebunan sawit, tinjauan atas sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), replantasi kelapa sawit, intensifikasi lahan perkebunan, dan program pengembangan kapasitas petani kecil mandiri, dianggap telah menuju arah yang tepat.

Menegakan standar yang jelas mengenai industri kelapa sawit berkelanjutan akan melindungi masyarakat lokal, ekosistem, dan cadangan karbon sejalan dengan Perjanjian Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Indonesia berkomitmen mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan hingga 70-90 persen di bawah tingkat proyeksi business as usual hingga 2030.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya